Monday, May 16, 2016

Penelitian Tindakan Sekolah (PTS)

Dilematis Kepsek Minim Lakukan Penelitian Tindakan Sekolah
Description: C:\Users\seven\Pictures\NELSON 113.jpg
Oleh: Nelson Sihaloho
Rasional
Kepala sekolah (Kepsek) merupakan tugas tambahan sebagaimana diatur dalam Permendiknas nomor 28 tahun 2010 dimana seseorang yang diangkat dan dipercaya menduduki jabatan kepala sekolah harus memenuhi kriteria-kriteria yang disyaratkan untuk jabatan tersebut. Mengutip pendapat Davis, G.A. & Thomas, M.A. menyatakan bahwa kepala sekolah yang efektif mempunyai karakteristik diantaranya yakni mempunyai jiwa kepemimpinan dan mampu memimpin sekolah,  memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, mempunyai keterampilan sosial serta  profesional dan kompeten dalam bidang tugasnya. De Roche, E.F. (1985 dalam Wahyudi, 2009:63) berpendapat bahwa kepala sekolah (principal) sebagai pemimpin dan administrator pendidikan harus mempunyai kemampuan yaitu  mempunyai sifat-sifat kepemimpinan, mempunyai harapan tinggi (high expectation) terhadap sekolah,  mampu mendayagunakan sumberdaya sekolah serta profesiona; dalam bidang tugasnya.
Saat ini para Kepsek dituntut pula untuk memiliki kompetensi penelitian pengembangan, yang tidak cukup dianggap hanya sekadar penerima pembaharuan. Dari hasil penelitian dari berbagai sumber maupun kalangan perguruan tinggi menyebutkan bahwa Kepsek ikut bertanggung jawab serta dan berperan aktif dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya sendiri melalui penelitian tindakan kelas (PTK) maupun penelitian tindakan sekolah (PTS) yang berkaitan dengan tugas pokoknya. Tugas itu diantaranya memantau, menilai, membina, dan melaporkan serta melaksanakan tindak lanjut hasil pengawasan.
Kepsek seringkali berhadapan dengan permasalahan bersifat situasional terjadi dalam suatu sekolah yang menjadi tanggung jawab binaannya dalam melaksanakan tugas dibina dan diawasinya yang mungkin saja permasalahan tersebut sifatnya khas hanya terjadi pada sekolah tersebut dan tidak pada sekolah lain.  Tindakan antisipasi terhadap kendala dan permasalahan yang muncul dalam melaksanakan tugas pokok memantau, menilai atau membina sekolah yang menjadi tanggung jawab binaannya. Selain itu bisa mengganggu dan menghambat peningkatan mutu sekolah, tidak dilakukan melalui tindakan yang tidak terukur melainkan melalui cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, yaitu dimulai dengan membuat rencana penelitian dan tindakan yang akan dilakukan yang secara umum disebut sebagai usulan penelitian.
Usulan penelitian tindakan sekolah dibuat sepraktis mungkin tidak seperti usulan penelitian untuk keperluan sebuah skripsi, tesis atau disertasi. Penelitian Tindakan Sekolah (PTS)  memiliki cirri-ciri yakni pengkajian masalah situasional dan kontekstual pada perilaku seseorang atau kelompok orang, adanya tindakan, penelaahan terhadap tindakan, pengkajian dampak tindakan, dilakukan secara kolaboratif serta adanya refleksi. Seiring dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan salah satu penentu mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Masalahnya sekarang banyak Kepsek tidak ,melakukan tugas profesionalnya khususnya dalam melaksanakan penelitian tindakan sekolah (PTS).
Padahal PTS sangat penting untuk melakukan perbaikan secara terus menerus maupun meminimalkan permasalahan dalam suatu sekolah. Anehnya banyak Kepsek dalam suatu sekolah kurang memahami tugasnya dalam menghasilkan karya PTS bermutu. Bila demikian masalah yang ditemukan dilapangan sungguh jelas sangat dilematis karena Kepsek minim melakukan PTS. Bagaimana Kepsek menjadi panutan terhadap guru sedangkan Kepsek sendiri tidak mampu menghasilkan PTS sepanjang 8 tahun (2 periode) memimpin sekola?.
Tak Layak Jadi Panutan
Mengutip sumber dari Wikipedia  menyebutkan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi dari sebuah pekerjaan profesional yang sejatinya, yakni: (1) academic qualifications–a doctoral or law degree–i.e., university college/institute; (2) expert and specialised knowledge in field which one is practising professionally; (3) excellent manual/practical and literary skills in relation to profession; (4) high quality work in (examples): creations, products, services, presentations, consultancy, primary/other research, administrative, marketing or other work endeavours; (5) a high standard of professional ethics, behaviour and work activities while carrying out one’s profession (as an employee, self-employed person, career, enterprise, business, company, or partnership/associate/colleague, etc.) (sumber:  Wordpress.com, 20 Mei 2010).
Disamping sebagai agent of change, tuntutan sertifikasi menuntut  Kepsek melakukan penelitian tindakan sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nitiasih (2009) menunjukkan bahwa 85% guru dan 90% kepala sekolah tidak mampu menemukan masalah yang dapat dijadikan penelitian tindakan kelas untuk guru-guru dan penelitian tindakan sekolah untuk Kepsek termasuk Pengawas.  Kenyataan tersebut disupport oleh hasil dari FGD (Focused group discussion) yang dilakukan oleh Rinjin dkk (2008) dengan para guru, dimana diperoleh informasi bahwa Guru sesungguhnya sering dikirim oleh pihak sekolah untuk mengikuti pelatihan-pelatihan atau seminar tentang PTK atau topik-topik yang lain demikian juga dengan kepala sekolah sering mengikuti pelatihan PTK.
Kepsek bukanlah sosok yang mempunyai kekuasaan tanpa batas. Di tengah era keterbukaan dan penerapan manajemen berbasis sekolah serta aturan yang mengembalikan Kepsek kepada hakikat keguruannya, maka seorang Kepsek dituntut untuk berlaku sebagai penanggung jawab lembaganya, bukan sebagai kepanjangan kekuasaan atasannya. Disadari bahwa Kepsek adalah leader, bukan sekadar manajer.
Untuk memenuhi kapasitasnya sebagai seorang leader, selama ini memang tidak ada pendidikan formal bagi calon Kepsek. Penataran calon Kepsek lazimnya hanya sebatas pemberian bekal teknis administratif, kurang fungsional, dan lebih membekali seorang calon kepala sekolah sebagai administrator belaka. Pembatasan masa jabatan akan memungkinkan kinerja dan gaya kepemimpinan yang ideal. Seorang Kepsek yang menyadari setelah berakhirnya masa jabatan lantas menjadi guru kembali, akan berhati-hati dalam menjalankan kepemimpinanannya. Tindakan semena-mena, mengelola kewibawaan, atau ”makan uang”  bahkan menjadi ”parasit”, memperkuat dan membentengi dirinya dengan berbagai macam KKN dengan bentuk modus baru. Biasanya pada awal tahun ajaran baru para orang tua menjadi pusing memikirkan kelanjutan pendidikan putera-puteri mereka. Apalagi Kepsek dengan berbagai ”dalih” melakukan pungutan diam-diam dan ”memelihara kaki tangan” untuk memuluskan aksi akal bulusnya. Oknu-oknum yang bisa diajak kerjasama dengan tujuan melakukan penyimpangan demi mengeruk keuntungan pribadi akan terus ”dipelihara” oleh oknum Kepsek mirip ”tuyul”. Aturan Pemerintah Pusat yang mengharuskan jumlah siswa dalam 1 lokal hanya 32 siswa bisa membengkak menjadi 44 orang siswa.
Bila perlu menerima siswa melebihi daya tampung dan diberlakukan 2 shift yakni shift pagi dan shift siang. Padahal sekolah negeri tidak diperkenankan melakukan kegiatan beajar mengajar (KBM) siang hari kecuali terjadi perbaikan gedung ataupun pembangunan unit gedung baru dengan waktu lebih dari 3 bulan atau diatas 90 hari kalender. Bila terjadi sampai 3 tahun pelajaran sekolah melakukan sistem pembelajaran 2 shift sudah termasuk pelanggaran kategori sangat berat. Oknum Kepsek seperti itu tidak layak menjadi panutan, termasuk dalam melakukan pengembangan profesionalismenya Kepsek wajib membuat PTS untuk mengurangi serta memanimialisir permasalahan dalam lingkup sekolah.
Dibutuhkan Kepsek Transformasional
Ciri seorang Kepsek yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional menurut Luthans, 1995: 358) yaitu mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan), memiliki sifat pemberani, mempercayai orang lain, bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus. Kemudian memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu serta  memiliki visi ke depan.
Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan Kepsek yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung. Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan, antara lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan nilai UN secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang Kepsek dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi bahkan lebih ironis budaya masih tergantung ”kunci jawaban UN” masih melekat dan dimanfaatkan oknum-oknum tertentu sebagai ”proyek sukses UN lulus 100 persen”..
Kondisi demikian masih tetap saja berlangsung bahkan tim Ombdusman menemukan kunci jawaban pada lingkungan sekolah berupa kertas yang diketik rapi. Kepsek yang mengadopsi kepemimpinan instruksi-otoritarian tidak selalu bisa memberi peluang serta mengajak para guru untuk melakukan classroom action research di kelasnya, dengan alasan kegiatan penelitian kelas itu akan mengganggu pencapaian target kurikulum yang telah dicanangkan oleh pusat. Kepsek yang memiliki kepemimpinan partisipatif-transformasional memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru, praktik-praktik baru dalam proses belajar-mengajar di sekolahnya, dan dengan demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research. 
Sebab, dengan penelitian tindakan kelas sebenarnya guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas dunia praktik profesional. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar-mengajar di kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan  guru mampu meningkatkan profesinalismenya secara berkelanjutan. Karena itu seorag Kepsek harus mampu membuktikan diri yang terdepan dan terbaik dalam melakukan penelitian tindakan sekolah.
Jika terjadi sebaliknya Kepsek tidak layak lagi menjabat sebagai Kepsek karena melalaikan sebagian kecil tugas profesinalismenya yaitu melaksanakan PTS. Perlu dipahami bahwa ada dua hal urgensi mengenai kemajuan sekolah yakni  kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas sarat dengan harapan dan pembaharuan dan sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Mengutip pendapat pakar manajemen seperti Michael A. Hitt & R. Duane Ireland & Robert E. Hoslisson (1997,18) melihat salah satu input strategis bagi langkah maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan sumber daya manusia demi suatu profitabilitas yang tinggi.
Kini masa jabatan kepala sekolah dibatasi dengan periode 4 tahunan dan bisa diangkat kembali untuk satu periode berikutnya. Namun kepastian tentang ketentuan ini pun konon dikaburkan. Wewenang mengangkat dan memberhentikan Kepsek ada ditangan bupati atau wali kota atas rekomendasi dari kepala dinas pendidikan. Dengan demikian apakah kelak ada para kepala dinas pendidikan setempat meminta kepada para Kepsek untuk menunjukkan hasi PTS nya setiap tahun?. Kita tunggu saja langkah konkrit para kepala dinas pendidikan untuk menertibkan para Kepsek yang tidak membuat PTS nya setiap tahun. (Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber relevan: Penulis adalah guru SMPN 11 Kota Jambi).


No comments:

Post a Comment