Dilematis Kepsek
Minim Lakukan Penelitian Tindakan Sekolah

Oleh:
Nelson Sihaloho
Rasional
Kepala
sekolah (Kepsek) merupakan tugas tambahan sebagaimana diatur dalam Permendiknas
nomor 28 tahun 2010 dimana seseorang yang diangkat dan dipercaya menduduki jabatan
kepala sekolah harus memenuhi kriteria-kriteria yang disyaratkan untuk jabatan
tersebut. Mengutip pendapat Davis, G.A. & Thomas, M.A. menyatakan bahwa kepala
sekolah yang efektif mempunyai karakteristik diantaranya yakni mempunyai jiwa
kepemimpinan dan mampu memimpin sekolah, memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah, mempunyai keterampilan sosial serta profesional dan
kompeten dalam bidang tugasnya. De Roche, E.F. (1985 dalam Wahyudi, 2009:63)
berpendapat bahwa kepala sekolah (principal) sebagai pemimpin
dan administrator pendidikan harus mempunyai kemampuan yaitu mempunyai
sifat-sifat kepemimpinan, mempunyai harapan tinggi (high
expectation) terhadap sekolah, mampu mendayagunakan sumberdaya
sekolah serta profesiona; dalam bidang tugasnya.
Saat ini para Kepsek dituntut pula untuk memiliki kompetensi
penelitian pengembangan, yang tidak cukup dianggap hanya sekadar penerima
pembaharuan. Dari hasil penelitian dari berbagai sumber maupun kalangan
perguruan tinggi menyebutkan bahwa Kepsek ikut bertanggung jawab serta dan
berperan aktif dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya sendiri
melalui penelitian tindakan kelas (PTK) maupun penelitian tindakan sekolah
(PTS) yang berkaitan dengan tugas pokoknya. Tugas itu diantaranya memantau, menilai,
membina, dan melaporkan serta melaksanakan tindak lanjut hasil pengawasan.
Kepsek seringkali berhadapan dengan permasalahan bersifat
situasional terjadi dalam suatu sekolah yang menjadi tanggung jawab binaannya
dalam melaksanakan tugas dibina dan diawasinya yang mungkin saja permasalahan
tersebut sifatnya khas hanya terjadi pada sekolah tersebut dan tidak pada
sekolah lain. Tindakan
antisipasi terhadap kendala dan permasalahan yang muncul dalam melaksanakan
tugas pokok memantau, menilai atau membina sekolah yang menjadi tanggung jawab
binaannya. Selain itu bisa mengganggu dan menghambat peningkatan mutu sekolah,
tidak dilakukan melalui tindakan yang tidak terukur melainkan melalui cara-cara
yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, yaitu dimulai dengan membuat
rencana penelitian dan tindakan yang akan dilakukan yang secara umum disebut
sebagai usulan penelitian.
Usulan penelitian tindakan sekolah dibuat sepraktis mungkin
tidak seperti usulan penelitian untuk keperluan sebuah skripsi, tesis atau
disertasi. Penelitian Tindakan Sekolah (PTS) memiliki cirri-ciri yakni pengkajian masalah
situasional dan kontekstual pada perilaku seseorang atau kelompok orang, adanya
tindakan, penelaahan terhadap tindakan, pengkajian dampak tindakan, dilakukan
secara kolaboratif serta adanya refleksi. Seiring dengan tantangan kehidupan
global, pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan salah
satu penentu mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Masalahnya sekarang banyak Kepsek
tidak ,melakukan tugas profesionalnya khususnya dalam melaksanakan penelitian
tindakan sekolah (PTS).
Padahal PTS sangat penting untuk melakukan perbaikan secara
terus menerus maupun meminimalkan permasalahan dalam suatu sekolah. Anehnya
banyak Kepsek dalam suatu sekolah kurang memahami tugasnya dalam menghasilkan
karya PTS bermutu. Bila demikian masalah yang ditemukan dilapangan sungguh
jelas sangat dilematis karena Kepsek minim melakukan PTS. Bagaimana Kepsek
menjadi panutan terhadap guru sedangkan Kepsek sendiri tidak mampu menghasilkan
PTS sepanjang 8 tahun (2 periode) memimpin sekola?.
Tak Layak Jadi Panutan
Mengutip sumber dari Wikipedia menyebutkan kriteria-kriteria yang
harus dipenuhi dari sebuah pekerjaan profesional yang sejatinya, yakni: (1) academic qualifications–a
doctoral or law degree–i.e., university college/institute; (2) expert and
specialised knowledge in field which one is practising professionally; (3)
excellent manual/practical and literary skills in relation to profession; (4)
high quality work in (examples): creations, products, services, presentations,
consultancy, primary/other research, administrative, marketing or other work
endeavours; (5) a high standard of professional ethics, behaviour and work
activities while carrying out one’s profession (as an employee, self-employed
person, career, enterprise, business, company, or
partnership/associate/colleague, etc.) (sumber: Wordpress.com, 20 Mei 2010).
Disamping
sebagai agent of change, tuntutan
sertifikasi menuntut Kepsek melakukan penelitian
tindakan sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nitiasih (2009) menunjukkan
bahwa 85% guru dan 90% kepala sekolah tidak mampu menemukan masalah yang dapat
dijadikan penelitian tindakan kelas untuk guru-guru dan penelitian tindakan
sekolah untuk Kepsek termasuk Pengawas.
Kenyataan tersebut disupport oleh hasil dari FGD (Focused group discussion) yang dilakukan oleh Rinjin dkk (2008)
dengan para guru, dimana diperoleh informasi bahwa Guru sesungguhnya sering
dikirim oleh pihak sekolah untuk mengikuti pelatihan-pelatihan atau seminar
tentang PTK atau topik-topik yang lain demikian juga dengan kepala sekolah sering
mengikuti pelatihan PTK.
Kepsek bukanlah sosok yang mempunyai kekuasaan tanpa
batas. Di tengah era keterbukaan dan penerapan manajemen berbasis sekolah serta
aturan yang mengembalikan Kepsek kepada hakikat keguruannya, maka seorang Kepsek
dituntut untuk berlaku sebagai penanggung jawab lembaganya, bukan sebagai
kepanjangan kekuasaan atasannya. Disadari bahwa Kepsek adalah leader, bukan
sekadar manajer.
Untuk memenuhi kapasitasnya
sebagai seorang leader, selama ini memang tidak ada pendidikan formal bagi
calon Kepsek. Penataran calon Kepsek lazimnya hanya sebatas pemberian bekal
teknis administratif, kurang fungsional, dan lebih membekali seorang calon
kepala sekolah sebagai administrator belaka. Pembatasan masa jabatan akan
memungkinkan kinerja dan gaya kepemimpinan yang ideal. Seorang Kepsek yang
menyadari setelah berakhirnya masa jabatan lantas menjadi guru kembali, akan
berhati-hati dalam menjalankan kepemimpinanannya. Tindakan semena-mena,
mengelola kewibawaan, atau ”makan uang”
bahkan menjadi ”parasit”, memperkuat dan membentengi dirinya dengan
berbagai macam KKN dengan bentuk modus baru. Biasanya pada awal tahun ajaran baru para orang tua menjadi pusing
memikirkan kelanjutan pendidikan putera-puteri mereka. Apalagi Kepsek dengan
berbagai ”dalih” melakukan pungutan diam-diam dan ”memelihara kaki tangan”
untuk memuluskan aksi akal bulusnya. Oknu-oknum yang bisa diajak kerjasama
dengan tujuan melakukan penyimpangan demi mengeruk keuntungan pribadi akan
terus ”dipelihara” oleh oknum Kepsek mirip ”tuyul”. Aturan Pemerintah Pusat
yang mengharuskan jumlah siswa dalam 1 lokal hanya 32 siswa bisa membengkak
menjadi 44 orang siswa.
Bila perlu menerima siswa
melebihi daya tampung dan diberlakukan 2 shift yakni shift pagi dan shift
siang. Padahal sekolah negeri tidak diperkenankan melakukan kegiatan beajar
mengajar (KBM) siang hari kecuali terjadi perbaikan gedung ataupun pembangunan
unit gedung baru dengan waktu lebih dari 3 bulan atau diatas 90 hari kalender.
Bila terjadi sampai 3 tahun pelajaran sekolah melakukan sistem pembelajaran 2
shift sudah termasuk pelanggaran kategori sangat berat. Oknum Kepsek seperti
itu tidak layak menjadi panutan, termasuk dalam melakukan pengembangan
profesionalismenya Kepsek wajib membuat PTS untuk mengurangi serta
memanimialisir permasalahan dalam lingkup sekolah.
Dibutuhkan Kepsek
Transformasional
Ciri seorang Kepsek yang telah berhasil
menerapkan gaya kepemimpinan transformasional menurut Luthans, 1995: 358) yaitu
mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan), memiliki sifat
pemberani, mempercayai orang lain, bertindak atas dasar sistem nilai (bukan
atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan
kroninya); meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus. Kemudian memiliki
kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu
serta memiliki visi ke depan.
Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya
segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan Kepsek yang bersifat instruktif
dan top down memang telah
lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih
berlangsung. Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model
kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita
sebutkan, antara lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah
kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan
kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan nilai UN secara
instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang Kepsek dengan
juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses
pembaruan dan inovasi bahkan lebih ironis budaya masih tergantung ”kunci
jawaban UN” masih melekat dan dimanfaatkan oknum-oknum tertentu sebagai ”proyek
sukses UN lulus 100 persen”..
Kondisi
demikian masih tetap saja berlangsung bahkan tim Ombdusman menemukan kunci jawaban
pada lingkungan sekolah berupa kertas yang diketik rapi. Kepsek yang mengadopsi
kepemimpinan instruksi-otoritarian tidak selalu bisa memberi peluang serta mengajak
para guru untuk melakukan classroom
action research di kelasnya,
dengan alasan kegiatan penelitian kelas itu akan mengganggu pencapaian target
kurikulum yang telah dicanangkan oleh pusat. Kepsek yang memiliki kepemimpinan partisipatif-transformasional
memiliki kecenderungan untuk menghargai ide-ide baru, cara baru,
praktik-praktik baru dalam proses belajar-mengajar di sekolahnya, dan dengan
demikian sangat senang jika guru melaksanakan classroom action research.
Sebab, dengan penelitian tindakan kelas sebenarnya
guru akan mampu menutup gap antara wacana konseptual dan realitas
dunia praktik profesional. Akibat positifnya ialah dapat ditemukannya solusi
bagi persoalan keseharian yang dihadapi guru dalam proses belajar-mengajar di
kelas. Jika hal ini terjadi, berarti guru akan mampu memecahkan sendiri
persoalan yang muncul dari praktik profesionalnya, dan guru mampu meningkatkan profesinalismenya secara
berkelanjutan. Karena itu seorag Kepsek harus mampu membuktikan diri yang
terdepan dan terbaik dalam melakukan penelitian tindakan sekolah.
Jika terjadi sebaliknya Kepsek tidak layak
lagi menjabat sebagai Kepsek karena melalaikan sebagian kecil tugas
profesinalismenya yaitu melaksanakan PTS. Perlu dipahami bahwa ada dua hal urgensi
mengenai kemajuan sekolah yakni kepala
sekolah adalah pelaksana suatu tugas sarat dengan harapan dan pembaharuan dan sekolah
sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin dapat
mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi
sekolah. Mengutip pendapat pakar manajemen seperti Michael A. Hitt & R.
Duane Ireland & Robert E. Hoslisson (1997,18) melihat salah satu input
strategis bagi langkah maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan
sumber daya manusia demi suatu profitabilitas yang tinggi.
Kini masa jabatan kepala sekolah
dibatasi dengan periode 4 tahunan dan bisa diangkat kembali untuk satu periode
berikutnya. Namun kepastian tentang ketentuan ini pun konon dikaburkan.
Wewenang mengangkat dan memberhentikan Kepsek ada ditangan bupati atau wali
kota atas rekomendasi dari kepala dinas pendidikan. Dengan demikian apakah
kelak ada para kepala dinas pendidikan setempat meminta kepada para Kepsek
untuk menunjukkan hasi PTS nya setiap tahun?. Kita tunggu saja langkah konkrit
para kepala dinas pendidikan untuk menertibkan para Kepsek yang tidak membuat
PTS nya setiap tahun. (Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber
relevan: Penulis adalah guru SMPN 11 Kota Jambi).
No comments:
Post a Comment