Monday, May 16, 2016

Kecemasan Kolektif

Krisis dan Kecemasan Kolektif
Description: D:\Pictures\s\TOT 1.jpg
Oleh: Nelson Sihaloho
Rasional
Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, pernah berkata, bahwa negara kesatuan Indonesia adalah jembatan emas untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur untuk semua, tanpa terkecuali.
Krisis yang melanda dunia akhir-akhir ini selain ditandai dengan melonjaknya harga minyak dunia dari level US$120 per barel hingga melonjak level US$126 per barel beberapa tahun silam membuat para pemimpin dunia pusing memikirkan bagaimana agar keluar dari krisis minyak dunia itu. Selain itu munculmkecemasan kolektif terhadap masyarakat dunia yang menimbulkan terjadinya krisis global. Kecemasan kolektif apabila berlanjut bisa menimbulkan potensi munculnya perang, huru hara, unjuk rasa di berbagai Negara dan akibat paling buruk timbulnya perang saudara berkepanjangan. Pergerakan harga minyak yang terus menunjukkan trend kenaikan, membengkaknya kredit macet sektor properti, melonjaknya kartu kredit yang tak tertagih, telah menyebabkan kecemasan kolektif warga dunia. Adanya kelompok-kelompok yang mengancam keamanan Negara juga berpotensi besar menimbulkan kecemasan kolektif pada rakyat. Kecemasan kolektif ini diyakini paling berbahaya dan harus diprioritaskan oleh Indonesia untuk diatasi dengan menciptakan stabilitas yang sehat dan dinamis. Beban-beban yang dipikul rakyat akibat terjadinya berbagai krisis selain menimbulkan kecemasan  juga berpotensi rakyat akan melakukan perlawanan terhadap para pemimpin pemimpin bangsa. Ketidakadilan yang terjadi pada suatu bangsa apabila dibiarkan berlarut-larut bisa memicu perlawanan dari kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan mobilisasi massa. Kecemasan kolektif dalam pendidikan secara lingkup nasional seperti pelaksanaan Ujian Nasional (UN) SD hingga SMA/K hanya terjadi pada saat menjelang/pengumuman UN usai. Wilayah-wilayah yang rentan terjadinya gempa, letusan gunung merapi, banjir bandang akibat gundulnya kawasan hutan, banjir tahunan, kebakaran hutan juga berpotensi menimbulkan kecemasan kolektif termasuk trauma terhadap penduduk. Naiknya harga-harga sembako menjelang moment penting membuat rakyat semakin pusing memikirkan kebutuhan-kebutuhan yang dipersiapkan untuk merayakan moment-moment penting itu. Banyak ahli yang mendefenisikan tentang kecemasan. Kecemasan dalam bahasa Inggris “anxiety” dalam bahasa Latin“angustus” yang berarti kaku, dan “ango, anci”yang berarti mencekik. Menurut Sigmund Freud ahli Psikoanalisa (dalam Alwisol, 2005:28) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan.
Konsep kecemasan memegang peranan yang sangat mendasar dalam teori-teori tentang stres dan penyesuaian diri (Lazarus, 1961). Menurut Post (1978), kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan aktifnya sistem syaraf pusat. Sbagaimana digambarkan oleh Freud (dalam Arndt, 1974) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan pernafasan. Menurut Freud, kecemasan melibatkan persepsi tentang perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan kata lain kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya. Sedangkan Lefrancois (1980) menyatakan bahwa kecemasan merupakan reaksi emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan ketakutan. Menurut Lefrancois, pada kecemasan bahaya bersifat kabur, misalnya ada ancaman, adanya hambatan terhadap keinginan pribadi, adanya perasaan-perasaan tertekan yang muncul dalam kesadaran. Nevid (2005), menyatakan bahwa kecemasan dapat menjadi reaksi emosional yang normal dibeberapa situasi, tetapi tidak disituasi lain. Lazarus (1991) menyatakan bahwa kecemasan adalah reaksi individu terhadap hal yang akan dihadapi. Kecemasan merupakan suatu perasaan yang menyakitkan, seperti kegelisahan, kebingungan, dan sebagainya, yang berhubungan dengan aspek subyektif emosi. Kecemasan merupakan gejala yang biasa pada saat ini, karena itu disepanjang perjalanan hidup manusia, mulai lahir sampai menjelang kematian, rasa cemas sering kali ada. Rasa cemas adalah perasaan tidak menentu, panik, takut, tanpa mengetahui apa yang ditakutkan dan tidak dapat menghilangkan perasaan gelisah dan rasa cemas tersebut.
Kecemasan Kolektif
Pemilihan Umum (Pemilu) seringkali menjadi ajang munculnya kecemasan kolektif dimana pemilihan presiden, gubernur, walikota, bupati dibumbui dengan korupsi, kolusi, maupun nepotisme. Fakta yang terjadi dilapangan seringkali pada setiap persoalan, kita kehilangan fokus tentang akar masalah sesungguhnya. Banyak pakar dan ahli melakukan analisis panjang dan mendalam, namun tidak mengetahui dengan tepat akar masalah yang sebenarnya. 
Krisis yang terjadi diberbagai wilayah  mengakibatkan masyarakat menderita kecemasan kolektif, orang hidup terus dalam rasa takut. Hubungan-hubungan sosial yang membentuk sebuah masyarakat yang sehat pun retak oleh rasa curiga dan prasangka buruk.  Kecemasan kolektif merupakan suatu masalah. Masalah merupakan tekanan mental atau kecemasan yang diakibatkan oleh kepedulian yang berlebihan akan masalah yang sedang dihadapi (nyata) ataupun yang dibayangkan mungkin terjadi (bayangan). Kecemasan akan mencengkeram kita apabila kita membiarkannya berlarut-larut dalam diri kita.  Menurut Collins bahwa kecemasan muncul karena  beberapa faktor. Diantaranya adanya Threat (ancaman) baik ancaman terhadap tubuh, jiwa atau psikisnya (seperti kehilangan kemerdekaan, kehilangan arti kehidupan) maupun ancaman terhadap eksistensinya (seperti kehilangan hak). Conflik (pertentangan) terjadi karena adanya dua keinginan yang keadaannya bertolak belakang, hampir setiap dua konflik, dua alternatif atau lebih dimana masing-masing mempunyai sifat approach dan avoidance.
Kemudian Fear (ketakutan) kecemasan sering timbul karena ketakutan akan sesuatu, ketakutan akan kegagalan menimbulkan kecemasan, misalnya ketakutan akan kegagalan dalam mengahadapi ujian atau ketakutan akan penolakan menimbulkan kecemasn setiap kali harus berhadapan dengan orang-orang  baru. Unfulled Need (kebutuhan yang tidak terpenuhi) kebutuhan manusia begitu kompleks dan bila manusia gagal untuk memenuhinya maka timbullah kecemasan. Menurut McMahon (1986,559) menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab kecemasan dapat digolongkan  yakni faktor kognitif., bahwa kecemasan dapat timbul sebagai akibat dari antisipasi harapan akan situasi yang menakutkan dan pernah menimbulkan situasi yang menimbulkan rasa sakit, maka apabila seseorang dihadapkan pada peristiwa yang sama maka yang bersangkutan akan merasakan kecemasan sebagai reaksi atas adanya bahaya. Faktor Lingkungan, menurut Slavson (1987) menyatakan bahwa  salah satu penyebab munculnya kecemasan adalah dari hubungan-hubungan dan ditentukan langsung oleh kondisi-kondisi, adat-istiadat, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kecemasan dalam kadar terberat dirasakan sebagai akibat dari perubahan sosial yang amat cepat, dimana tanpa persiapan yang cukup, seseorang tiba-tiba saja sudah dilanda perubahan dan terbenam dalam situasi-situasi baru yang terus menerus berubah. Perubahan ini merupakan peristiwa yang mengenai seluruh lingkungan kehidupan, maka seseorang akan sulit membebaskan dirinya dari pengalaman yang mencemaskan tersebut.  Kemudian faktor proses belajar, dimana menurut Mowrer (dalam Goldstein&Krasner, 1988:282) mengungkapkan bahwa kecemasan timbul sebagai akibat dari proses belajar. Manusia mempelajari respon terhadap stimulus yang memperingatkan adanya peristiwa berbahaya dan menyakitkan yang akan segera terjadi. Greenberger & Padesky (2004,212) menyatakan bahwa kecemasan berasal dari dua aspek, yakni aspek kognitif dan aspek kepanikan yang terjadi pada seseorang.  Aspek kognitif, meliputi kecemasan disertai dengan persepsi bahwa seseorang sedang berada dalam bahaya atau terancam atau rentan dalam hal tertentu, sehingga gejala fisik kecemasan membuat seseorang siap merespon bahaya atau ancaman yang menurutnya akan terjadi. Ancaman tersebut bersifat fisik, ketika seseorang percaya bahwa ia akan terluka secara fisik. Ancaman mental terjadi ketika sesuatu membuat khawatir bahwa dia akan menjadi gila atau hilang igatan.  Ancaman sosial terjadi ketika seseorang percaya bahwa ia akan ditolak, dipermalukan, merasa malu atau dikecewakan.
Pemikiran tentang kecemasan berorientasi pada masa depan dan sering kali memprediksi malapetaka. Pemikiran tentang kecemasan sering dimulai dengan “bagaimana sesuatu yang direncanakan berakhir dengan kekacauan”.  Pemikiran tentang kecemasan juga sering meliputi citra tentang bahaya dimana pemikiran-pemikiran tentang masa depan semuanya memprediksi hasil yan buruk. Aspek lainnya adalah aspek kepanikan.  Panik merupakan perasaan cemas atau takut yang ekstrem.  Rasa panik terdiri atas kombinasi emosi dan gejala fisik yang berbeda. Seringkali rasa panik ditandai dengan adanya perubahan sensasi fisik atau mental, dalam diri seseorang yang menderita gangguan panik, terjadi lingkaran setan saat gejala-gejala fisik, emosi, dan pemikiran saling berinteraksi dan meningkat dengan cepat. Pemikiran ini menimbulkan ketakutan dan kecemasan serta merangsang keluarnya adrenalin. Pemikiran yang katastrofik dan reaksi fisik serta emosional yang lebih intens yang terjadi bisa menimbulkan dihindarinya aktivitas atau situasi saat kepanikan telah terjadi sebelumnya.
Hindarkan Kekerasan Kolektf

Stuart W Twemlow dan Frank C. Sacco dalam buku Collective Violence menjelaskan tentang jenis-jenis tindak kekerasan kolektif  yakni   Mob violence, Gang violence, Syndicated Crime, Domestic Terroris, Lethal Violence by the Government, Genocide. Mob violence seperti kerusuhan memiliki karakteristik yang umum, yaitu emosional, irasional dan like-mindedness. Dalam Ameri­can Psychological Association disebutkan enam (6) karakteristik mob violence.  Pertama, kerusuhan seperti gang participation menyediakan kebutuhan psikososial, kedua, data partisipan kerusuhan biasanya adalah pemuda dan remaja, ketiga, hal yang tipikal adalah partisipan dalam kerusuhan bukanlah kriminal ataupun penyimpang. Keempat individu yang kehilangan memainkan peranan yang penting untuk yang lain berpartisipasi, kelima, anggota memasuki proses pergantian dalam kontinuum destruksi. Kekerasan dapat berjalan secara cepat melalui proses penularan serta keenam, orang-orang yang berdiri didekatnya atau penonton memiliki kemampuan untuk mempengaruhi melalui tindakan atau pasif. Semakin penonton bertindak seperti mob, semakin besar potensi pengaruhnya. (tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber relevan, penulis: guru SMPN 11 Kota Jambi).

No comments:

Post a Comment