Monday, May 16, 2016

JIBUNISASI TUGAS GURU

Jibunisasi Kewajiban Guru, Dokumen “Copy Paste”
Description: D:\Pictures\s\TOT 4.jpg
Oleh: Nelson Sihaloho

Realita Kewajiban Guru
Fakta dan realita tugas dan kewajiban guru saat ini boleh dikatakan semakin bertambah banyak ragamnya sehingga identik dengan berjibun. Tugas guru saat ini selain mengimplementasikan kurikulum 2013 serta sesuai dengan kebijakan pusat guru ada yang menjadi guru pendamping, guru sasaran. Selain itu model penilaian dalam kurikulum 2013 menggunakan indeks prestasi kumulatif (IPK) mirip penilaiannya seperti mahasiswa.
Itu baru sebagian kecil, selanjutnya guru wajib melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB), penilaian kinerja guru (PKG), kegiatan pengembangan diri berupa melakukan penelitian tindakan kelas (PTK), publikasi ilmiah, menulis artikel yang sesuai dengan tugas pokok fungsinya (tupoksi). Kemudian ditambah dengan tugas-tugas lain pendukung tugas guru seperti memimbing siwa dalam kegiatan ekstrakurikuler, melaksanakan Uji Kompetensi Awal (UKA), Uji Kompetensi Guru (UKG) serta diwajibkan memiliki dokumen otentik yang berkaitan dengan tugas-tugasnya.
Belum lagi adanya diklat kurikulum 2013 terhadap guru yang ditunjuk pihak sekolah, diklat peningkatan kompetensi guru mulai dari guru kelas, guru mata pelajaran, diklat penulisan karya ilmiah hingga simposim, seminar. Ditambah lagi degan diklat penulisan soal-soal ujian, persiapan lomba olympiade sains nasional (OSN), O2N, FL2SN, LPIR, LKJS, Lomba Sekolah Sehat, Adiwiyata, Empat Pilar Kebangsaan tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota serta lomba-lomba setingkat local lainnya. Wajah-wajah penat, lelah, kusut semakin menambah beban berat tugas guru yang berakibat pada banyaknya dokumen-dokumen “copy paste” ditemukan pada guru saat ini.
Namaun hal itu tidak pernah dikaji secara lebih mendalam oleh pemerintah pusat khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang jelas surat perintah dan pengumuman terus disampaikan dan disebarkan ke sekolah sekolah untuk melaksanakan tugas dan mengirimkan peserta. Belum lagi guru menghadapi tugas-tugasnya dikelas mulai dari siswa yang rebut hingga absen (alpa) beberapa hari . Pada akhirnya kebijakan selalu identic dengan “tajam ke bawah tumpul ke atas”.
Pemerintah pusat setiap tahun terus dan tiada henti menambah porsi kewajiban guru termasuk tuntutan akan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan. Widyaiswara, instruktur dari pusat dalam memberikan diklat terus ditugaskan ke daerah bahkan mereka tidak melihat fakta dan kondisi riil yang dihadapi guru dilapangan. Widyaiswara, instruktur selalu memberikan materi-materi yang membuat guru semakin terbebani dengan model=model pembelajaran yang umumnya rata-rata diadopsi dari berbagai universitas ternama dari luar negeri.
Berbagai bentuk ragam diklatpun mencuat mulai dari On Job Learning (OJL) hingga Trainer of Trainer (ToT) terbaru pun digulirkan yang diperkirakan menyedot anggaran yang tidak sedikit. Kadangkala waktu pelaksanaan kegiatan sering berbenturan dengan tugas guru, bila disuatu sekolah gurunya memang cukup dan memiliki guru pengganti tidak masalah namun bagaimana kalau guru disuatu sekolah hanya pas-pasan.
Bisa dibayangkan seorang guru saja mengikuti diklat kondisi sekolah bisa terganggu, termasuk untuk diklat guru hingga 12 hari apalagi hingga 90 hari atau 3 bulan bisa dibayangkan kondisi suatu sekolah. Ditambah lagi dengan oknum Kepala Sekolah yang seakan enggan menggantikan jam guru yang berhalangan hadir semakin menambah runyam kondisi suatu sekolah. Manajemen persekolah yang saat ini identic dengan manajemen berbasis sekolah semakin tidak relevan dengan diklat yang dilakukan terhadap para calon kepala sekolah.
Maraknya Copy Paste
Kemajuan teknologi khususnya era digital dalam teknologi informasi komunikasi semakin mempercepat akses pembuatan, pencetakan dan pengiriman dokumen. Sebab 1 dokumen saja bila pengguna internet 5 milyar orang bisa dibayangkan begitu luar biasa penyebaran dokumennya. Para guru saat ini semakin banyak menggunakan metode “copy paste” alias “copas” karena selain berbiaya murah juga bisa diubah sesuai dengan kondisi si pengguna. Metode “copy paste” pun semakin menyebar ke siswa, bahkan siswa semakin tidak peduli dengan materi pelajaran yang diajarkan oleh guru karena bisa diunduh dan di download di internet. Persebaran dokumen-dokumen “copy paste” inilah yang mengakibatkan menjamurnya system plagiarism dikalangan para guru dan siswa di tanah air.
Informasi dapat dengan mudah diakses dengan berbekal Tablet, Handphone berbasis data jaringan internet dengan koneksitivitas ke jaringan internet informasi bisa diunduh melalui telunjuk jari. Namun bahaya serta efeknya terhadap kesehatan mata, otak dan pikiran sangat berbahaya apabila terlalu sering menggunakan jaringan internet. Itulah sebabnya era komersialisasi dan bisnis informasi semakin banyak digandrungi oleh manusia termasuk guru dan siswa saat ini. Belanja komunikasi saat ini mendukuki peringkat pertama bahkan mendapat posisi rating teratas dalam dunia bisnis sehingga urusan belanaja online pun semakin menyebar di dunia maya. Saat ini unjian dengan menggunakan computer juga semakin digalakkan oleh pemerintah namun peralatan computer sebagaimana yang dianjurkan oleh pemerintah belum sesuai dengan fakta dilapangan.
Untuk itu kompleksitas yang terjadi dalam masyarakat global berimbas pada aktivitas guru yang menuntut adanya modernisasi kinerja termasuk dokumen-dokumen kinerjanya. Akibat banyaknya tugas-tugas yang diemban oleh guru setiap dokumen yang berkaitan dengan tugas pokoknya pun akhirnya di “copy paste” melalui jaringan internet. Persoalan apakah dokumen-dokumen itu sesuai dengan standar baku mutu persoalan tinggal belakang yang penting bisa dikemas bagus terlihat dari lua namun isi dokumen masih perlu diselidiki lebih lanjut.
“Cpy pastenisasi” semakin marak dalam dunia pendidikan bahkan siswapun dalam mengumpulkan tugas-tugas yang diperintahkan oleh guru-gurunya pun umumnya sudah tahu dengan “cop paste” tanpa menyebutkan sumber-sumber aslinya. Ironis memang begitu mudahnya mendapatkan informasi-informasi yang berkaitan dengan pengumpulan tugas namun standar mutu serta kualitasnya masih dipertanyakan lebih lanjut. Kondisi ini semakin diperparah dengan semakin getolnya para pelaku bisnis memasukkan produk-produk global ke lembaga sekolah-sekolah sehingga berimbas pada munculnya kompleksitas dalam dunia pendidikan.
Perilaku Semakin Menyimpang
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa tanggapan atau reaksi individu yang terwujud digerakkan (sikap); tidak saja badan atau ucapan. Simpang, sebagai kata dasar menyimpang memiliki pengertian yakni sesuatu yang memisah (membelok, bercabang, melenceng, dan sebagainya) dari yang lurus (induknya); tempat berbelok atau bercabang dari yang lurus (tentang jalan). Pengertian menyimpang sendiri adalah membelok menempuh jalan yang lain atau jalan simpangan ; membelok supaya jangan melanggar atau terlanggar (oleh kendaraan dan sebagainya); menghindar serta  tidak menurut apa yang sudah ditentukan ; tidak sesuai dengan rencana dan sebagainya; menyalahi (kebiasaan dan sebagainya); menyeleweng (dari hukum, kebenaran, agama, dan sebagainya).
Perilaku menyimpang ini, pada mulanya berasal dari kebiasaan seseorang pada masa remajanya yang terus terbawa di bawah sadar sampai seseorang tersebut dewasa. Untuk itu sebaiknya dicari tahu tentang perilaku menyimpang pada remaja. Salah satu upaya untuk mendefinisikan penyimpangan perilaku remaja dalam arti kenakalan anak (juvenile delinquency) dilakukan oleh M. Gold dan J. Petronio (Weiner, 1980, hlm.497) yaitu sebagai berikut: “Kenakalan anak adalah tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman”.
Perilaku menyimpang merupakan tanggapan atau reaksi yang terwujud di action (sikap); tidak saja badan atau ucapan; yang tidak menurut apa yang sudah ditentukan, yang menyalahi kebiasaan pada umumnya, ataupun menyeleweng dari hukum, kebenaran, agama, dan sebagainya. Kini semakin banyak guru yang melakukan penyimpangan dalam tugasnya, meskipun persyaratan seorang guru wajib mengajar dan memenuhi jam tatap muka 24 jam knyataan dilapangan diduga kuat banyak yang dilanggar, diakali bagaimana agar dalam adminsitrasinya benar-benar 24 jam.
Perbaiki Kesalahan Persepsi
Menurut Ruch (1967: 300), menyatakan bahwa persen  psi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.
Persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358).  Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209).
Persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986: 54). Kesalahan-kesalahan persepsi dalam dunia pendidikan kini semakin mencuat. Guru selalu menjadi sorotan dalam hal mutu serta kualitas pendidikan. Tudingan-tudingan miring yang dialamatkan pada guru termasuk kesalahan sekecil apapun sering dibesar-besarkan.
Adanya kritisi dari berbagai elemen, kelompok masyarakat yang menuding guru sebagaifaktor penyebab utama rendahnya mutu dan kualitas pendidikan perlu diluruskan dan diteliti lebih lanjut. Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya penurunan mutu dan kualitas pendidikan diantaranya perubahan kurikulum, perubahan politik, dunia yang semakin mengglobal, rendahnya partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam lembaga pendidikan akibat adanya “pendidikan gratis”. Program-program wajib belajar dari semula 9 tahun ditingkatkan menjadi 12 tahun begitu menyedot anggaran keuangan Negara tanpa dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru baik itu guru honorenr maupun guru PNS. Gaji rata-rata guru honor yang tergolong rendah bahkan ada yang Rp.300 ribu per bulan mengindikasikan betapa rendahnya profesi guru dihargai di negeri ini. Meski telah ada sinyal dan “deal” bahwa gaji guru honorer akan ditetapkan minimal 2 juta hingga 3 juta sesuai dengan upah kelayakan seringkali mengundang reaksi dan persepsi beraneka ragam di masyarakat.
Action Plan Harus Terukur

Selama ini banyak program rencana (action plan) tidak sesuai pelaksanaannya dilapangan. Gembor-gembor soal program peningkatan mutu pendidikan turut andil yang mengakibatkan terjadinya “jibunisasi” kewajibana guru. Perubahan kurikulum misalnya akan semakin banyak menyedot anggaran, menyita waktu guru, perubahan akan mindset, perbaikan dokumen-dokumen lama ke dokumen baru, buku-buku hingga raport pun harus diubah.Perlu dilakukan kesamaan persepsi melalui action plan dengan memberlakukan bahwa semua mata pelajaran adalah sama.  Adanya pola Ujian Nasional (UN) yang hanya menguji beberapa mata pelajaran mengakibatkan diskriminasi terhadap mata pelajaran terus terjadi. Mata pelajaran yang di UN kan selalu mendapat predikat “istimewa” bahkan lebih diprioritaskan oleh pemerintah dalam pelaksanaannya. Akibatnya lama kelamaan terjadi reduksi mata pelajaran akibat pemberlakuan “keistimewaan” terhadap mata pelajaran yanag di UN kan. Menyikapi hal demikiana sudah seharusnya mata pelajaran UN yang “diistimewakan” itu ditanggalkan. Jika memang obyektf dan realistis semua mata pelajara harus mendapatkan hak “istimewa” sehinga terjadi pola pemerataan dalamsemua mata pelajaran. Kesenjangan-kesenjangan antara mutu dan kualitas pendidikan dikawasan perkotaan dan pedesaan harus dijembatan dengan program aksi nyata pemerintah dalam memajukan sector pendidikan di negeri ini. Apabila memang pemerintah mempersyaratkan agar siswa dalam satu ruang kelas hanya diisi 32 untuk SMP dan 24 orang untuk SD peraturan itu harus ditegakkan. Diharapkan agar tidak ada lag jumlah siswa yanag melebihi kapasitas dalam satu ruang pada tahun-tahun mendatang. Konsisstensi terhadap penegakan peraturan harus benar-benar diwujudkan sehinga persoalan-arpersoalan yang menghambat dunia pendidikan bisa diminimalisir. Gerakan-gerakan pembaharuan dan perubahan dalam dunia pendidikan harus diimbangi dengan program aksi nyata.  Para pemangku “stakeholders” harus realistis dalam melaksanakan program kemajuan pendidikan melalui penyederhanaan kegiatan-kegiatan system pendidikan termasuk dokumen-dokumen yang harus dipersiapkan oleh guru. Ke depan guru harus difokuskan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Diklat-diklat yang menyita waktu guru sebaiknya diupayakan dilakukan pada waktu libur sekolah baik itu semester ganjil dan semester genap. Semoga ke depan tidak adalagi program uang membuat “jibunisasi kewajiban guru” namun yang terjadi adalah penyederhanaan kegiatan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tugas pokondan fungsi guru. Widyaiswara dan instruktur-instruktur yang selama ini selalu didominasi oleh pusat-pusat pengembangan bila turun ke daerah agar pelaksanaannya dilakukan pada wilayah-wilayah terisolir dimana selama ini banyak fokus kegiatan para widyaiswara dan instruktur selalu di kawasan perkotaan. Semoga. (Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber relevan: penulis adalah guru SMPN 11 Kota Jambi).

No comments:

Post a Comment