Jibunisasi Kewajiban Guru, Dokumen “Copy Paste”

Oleh: Nelson Sihaloho
Realita
Kewajiban Guru
Fakta
dan realita tugas dan kewajiban guru saat ini boleh dikatakan semakin bertambah
banyak ragamnya sehingga identik dengan berjibun. Tugas guru saat ini selain
mengimplementasikan kurikulum 2013 serta sesuai dengan kebijakan pusat guru ada
yang menjadi guru pendamping, guru sasaran. Selain itu model penilaian dalam
kurikulum 2013 menggunakan indeks prestasi kumulatif (IPK) mirip penilaiannya
seperti mahasiswa.
Itu
baru sebagian kecil, selanjutnya guru wajib melakukan pengembangan keprofesian
berkelanjutan (PKB), penilaian kinerja guru (PKG), kegiatan pengembangan diri
berupa melakukan penelitian tindakan kelas (PTK), publikasi ilmiah, menulis
artikel yang sesuai dengan tugas pokok fungsinya (tupoksi). Kemudian ditambah
dengan tugas-tugas lain pendukung tugas guru seperti memimbing siwa dalam
kegiatan ekstrakurikuler, melaksanakan Uji Kompetensi Awal (UKA), Uji
Kompetensi Guru (UKG) serta diwajibkan memiliki dokumen otentik yang berkaitan
dengan tugas-tugasnya.
Belum
lagi adanya diklat kurikulum 2013 terhadap guru yang ditunjuk pihak sekolah,
diklat peningkatan kompetensi guru mulai dari guru kelas, guru mata pelajaran,
diklat penulisan karya ilmiah hingga simposim, seminar. Ditambah lagi degan
diklat penulisan soal-soal ujian, persiapan lomba olympiade sains nasional
(OSN), O2N, FL2SN, LPIR, LKJS, Lomba Sekolah Sehat, Adiwiyata, Empat Pilar
Kebangsaan tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota serta lomba-lomba
setingkat local lainnya. Wajah-wajah penat, lelah, kusut semakin menambah beban
berat tugas guru yang berakibat pada banyaknya dokumen-dokumen “copy paste”
ditemukan pada guru saat ini.
Namaun
hal itu tidak pernah dikaji secara lebih mendalam oleh pemerintah pusat
khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang jelas surat perintah dan
pengumuman terus disampaikan dan disebarkan ke sekolah sekolah untuk
melaksanakan tugas dan mengirimkan peserta. Belum lagi guru menghadapi
tugas-tugasnya dikelas mulai dari siswa yang rebut hingga absen (alpa) beberapa
hari . Pada akhirnya kebijakan selalu identic dengan “tajam ke bawah tumpul ke
atas”.
Pemerintah
pusat setiap tahun terus dan tiada henti menambah porsi kewajiban guru termasuk
tuntutan akan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan. Widyaiswara, instruktur
dari pusat dalam memberikan diklat terus ditugaskan ke daerah bahkan mereka
tidak melihat fakta dan kondisi riil yang dihadapi guru dilapangan. Widyaiswara,
instruktur selalu memberikan materi-materi yang membuat guru semakin terbebani
dengan model=model pembelajaran yang umumnya rata-rata diadopsi dari berbagai
universitas ternama dari luar negeri.
Berbagai
bentuk ragam diklatpun mencuat mulai dari On Job Learning (OJL) hingga Trainer
of Trainer (ToT) terbaru pun digulirkan yang diperkirakan menyedot anggaran
yang tidak sedikit. Kadangkala waktu pelaksanaan kegiatan sering berbenturan
dengan tugas guru, bila disuatu sekolah gurunya memang cukup dan memiliki guru
pengganti tidak masalah namun bagaimana kalau guru disuatu sekolah hanya
pas-pasan.
Bisa
dibayangkan seorang guru saja mengikuti diklat kondisi sekolah bisa terganggu,
termasuk untuk diklat guru hingga 12 hari apalagi hingga 90 hari atau 3 bulan
bisa dibayangkan kondisi suatu sekolah. Ditambah lagi dengan oknum Kepala
Sekolah yang seakan enggan menggantikan jam guru yang berhalangan hadir semakin
menambah runyam kondisi suatu sekolah. Manajemen persekolah yang saat ini
identic dengan manajemen berbasis sekolah semakin tidak relevan dengan diklat
yang dilakukan terhadap para calon kepala sekolah.
Maraknya Copy
Paste
Kemajuan
teknologi khususnya era digital dalam teknologi informasi komunikasi semakin
mempercepat akses pembuatan, pencetakan dan pengiriman dokumen. Sebab 1 dokumen
saja bila pengguna internet 5 milyar orang bisa dibayangkan begitu luar biasa
penyebaran dokumennya. Para guru saat ini semakin banyak menggunakan metode
“copy paste” alias “copas” karena selain berbiaya murah juga bisa diubah sesuai
dengan kondisi si pengguna. Metode “copy paste” pun semakin menyebar ke siswa,
bahkan siswa semakin tidak peduli dengan materi pelajaran yang diajarkan oleh
guru karena bisa diunduh dan di download di internet. Persebaran
dokumen-dokumen “copy paste” inilah yang mengakibatkan menjamurnya system
plagiarism dikalangan para guru dan siswa di tanah air.
Informasi
dapat dengan mudah diakses dengan berbekal Tablet, Handphone berbasis data
jaringan internet dengan koneksitivitas ke jaringan internet informasi bisa
diunduh melalui telunjuk jari. Namun bahaya serta efeknya terhadap kesehatan
mata, otak dan pikiran sangat berbahaya apabila terlalu sering menggunakan
jaringan internet. Itulah sebabnya era komersialisasi dan bisnis informasi
semakin banyak digandrungi oleh manusia termasuk guru dan siswa saat ini. Belanja
komunikasi saat ini mendukuki peringkat pertama bahkan mendapat posisi rating
teratas dalam dunia bisnis sehingga urusan belanaja online pun semakin menyebar
di dunia maya. Saat ini unjian dengan menggunakan computer juga semakin
digalakkan oleh pemerintah namun peralatan computer sebagaimana yang dianjurkan
oleh pemerintah belum sesuai dengan fakta dilapangan.
Untuk
itu kompleksitas yang terjadi dalam masyarakat global berimbas pada aktivitas
guru yang menuntut adanya modernisasi kinerja termasuk dokumen-dokumen
kinerjanya. Akibat banyaknya tugas-tugas yang diemban oleh guru setiap dokumen
yang berkaitan dengan tugas pokoknya pun akhirnya di “copy paste” melalui
jaringan internet. Persoalan apakah dokumen-dokumen itu sesuai dengan standar
baku mutu persoalan tinggal belakang yang penting bisa dikemas bagus terlihat
dari lua namun isi dokumen masih perlu diselidiki lebih lanjut.
“Cpy
pastenisasi” semakin marak dalam dunia pendidikan bahkan siswapun dalam
mengumpulkan tugas-tugas yang diperintahkan oleh guru-gurunya pun umumnya sudah
tahu dengan “cop paste” tanpa menyebutkan sumber-sumber aslinya. Ironis memang
begitu mudahnya mendapatkan informasi-informasi yang berkaitan dengan
pengumpulan tugas namun standar mutu serta kualitasnya masih dipertanyakan
lebih lanjut. Kondisi ini semakin diperparah dengan semakin getolnya para
pelaku bisnis memasukkan produk-produk global ke lembaga sekolah-sekolah
sehingga berimbas pada munculnya kompleksitas dalam dunia pendidikan.
Perilaku Semakin
Menyimpang
Dalam kamus
besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa tanggapan atau reaksi individu yang
terwujud digerakkan (sikap); tidak saja badan atau ucapan. Simpang, sebagai
kata dasar menyimpang memiliki pengertian yakni sesuatu yang memisah (membelok,
bercabang, melenceng, dan sebagainya) dari yang lurus (induknya); tempat
berbelok atau bercabang dari yang lurus (tentang jalan). Pengertian menyimpang
sendiri adalah membelok menempuh jalan yang lain atau jalan simpangan ; membelok
supaya jangan melanggar atau terlanggar (oleh kendaraan dan sebagainya); menghindar
serta tidak menurut apa yang sudah
ditentukan ; tidak sesuai dengan rencana dan sebagainya; menyalahi (kebiasaan
dan sebagainya); menyeleweng (dari hukum, kebenaran, agama, dan sebagainya).
Perilaku
menyimpang ini, pada mulanya berasal dari kebiasaan seseorang pada masa remajanya
yang terus terbawa di bawah sadar sampai seseorang tersebut dewasa. Untuk itu
sebaiknya dicari tahu tentang perilaku menyimpang pada remaja. Salah satu upaya
untuk mendefinisikan penyimpangan perilaku remaja dalam arti kenakalan anak (juvenile
delinquency) dilakukan oleh M. Gold dan J. Petronio (Weiner, 1980, hlm.497)
yaitu sebagai berikut: “Kenakalan anak adalah tindakan oleh seseorang yang
belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri
bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai
hukuman”.
Perilaku
menyimpang merupakan tanggapan atau reaksi yang terwujud di action (sikap);
tidak saja badan atau ucapan; yang tidak menurut apa yang sudah ditentukan,
yang menyalahi kebiasaan pada umumnya, ataupun menyeleweng dari hukum,
kebenaran, agama, dan sebagainya. Kini semakin banyak guru yang melakukan
penyimpangan dalam tugasnya, meskipun persyaratan seorang guru wajib mengajar
dan memenuhi jam tatap muka 24 jam knyataan dilapangan diduga kuat banyak yang
dilanggar, diakali bagaimana agar dalam adminsitrasinya benar-benar 24 jam.
Perbaiki
Kesalahan Persepsi
Menurut Ruch (1967:
300), menyatakan bahwa persen psi
adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan
pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada
kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada
dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan bahwa
persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola
stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan
bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang
individu.
Persepsi
bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat
tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Dalam
hal ini persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan
kejadian obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358). Stimulus yang diterima seseorang sangat
komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kernudian diartikan, ditafsirkan serta
diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi
(Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209).
Persepsi
mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan
penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang
dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung
menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986:
54). Kesalahan-kesalahan persepsi dalam dunia pendidikan kini semakin
mencuat. Guru selalu menjadi sorotan dalam hal mutu serta kualitas pendidikan.
Tudingan-tudingan miring yang dialamatkan pada guru termasuk kesalahan sekecil
apapun sering dibesar-besarkan.
Adanya kritisi
dari berbagai elemen, kelompok masyarakat yang menuding guru sebagaifaktor
penyebab utama rendahnya mutu dan kualitas pendidikan perlu diluruskan dan
diteliti lebih lanjut. Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya penurunan
mutu dan kualitas pendidikan diantaranya perubahan kurikulum, perubahan
politik, dunia yang semakin mengglobal, rendahnya partisipasi masyarakat dan
dunia usaha dalam lembaga pendidikan akibat adanya “pendidikan gratis”.
Program-program wajib belajar dari semula 9 tahun ditingkatkan menjadi 12 tahun
begitu menyedot anggaran keuangan Negara tanpa dibarengi dengan peningkatan
kesejahteraan guru baik itu guru honorenr maupun guru PNS. Gaji rata-rata guru
honor yang tergolong rendah bahkan ada yang Rp.300 ribu per bulan
mengindikasikan betapa rendahnya profesi guru dihargai di negeri ini. Meski
telah ada sinyal dan “deal” bahwa gaji guru honorer akan ditetapkan minimal 2
juta hingga 3 juta sesuai dengan upah kelayakan seringkali mengundang reaksi
dan persepsi beraneka ragam di masyarakat.
Action Plan Harus Terukur
Selama ini
banyak program rencana (action plan) tidak sesuai pelaksanaannya dilapangan.
Gembor-gembor soal program peningkatan mutu pendidikan turut andil yang
mengakibatkan terjadinya “jibunisasi” kewajibana guru. Perubahan kurikulum
misalnya akan semakin banyak menyedot anggaran, menyita waktu guru, perubahan
akan mindset, perbaikan dokumen-dokumen lama ke dokumen baru, buku-buku hingga
raport pun harus diubah.Perlu dilakukan kesamaan persepsi melalui action plan
dengan memberlakukan bahwa semua mata pelajaran adalah sama. Adanya pola Ujian Nasional (UN) yang hanya
menguji beberapa mata pelajaran mengakibatkan diskriminasi terhadap mata
pelajaran terus terjadi. Mata pelajaran yang di UN kan selalu mendapat predikat
“istimewa” bahkan lebih diprioritaskan oleh pemerintah dalam pelaksanaannya. Akibatnya
lama kelamaan terjadi reduksi mata pelajaran akibat pemberlakuan “keistimewaan”
terhadap mata pelajaran yanag di UN kan. Menyikapi hal demikiana sudah
seharusnya mata pelajaran UN yang “diistimewakan” itu ditanggalkan. Jika memang
obyektf dan realistis semua mata pelajara harus mendapatkan hak “istimewa”
sehinga terjadi pola pemerataan dalamsemua mata pelajaran.
Kesenjangan-kesenjangan antara mutu dan kualitas pendidikan dikawasan perkotaan
dan pedesaan harus dijembatan dengan program aksi nyata pemerintah dalam
memajukan sector pendidikan di negeri ini. Apabila memang pemerintah
mempersyaratkan agar siswa dalam satu ruang kelas hanya diisi 32 untuk SMP dan
24 orang untuk SD peraturan itu harus ditegakkan. Diharapkan agar tidak ada lag
jumlah siswa yanag melebihi kapasitas dalam satu ruang pada tahun-tahun
mendatang. Konsisstensi terhadap penegakan peraturan harus benar-benar
diwujudkan sehinga persoalan-arpersoalan yang menghambat dunia pendidikan bisa
diminimalisir. Gerakan-gerakan pembaharuan dan perubahan dalam dunia pendidikan
harus diimbangi dengan program aksi nyata.
Para pemangku “stakeholders” harus realistis dalam melaksanakan program
kemajuan pendidikan melalui penyederhanaan kegiatan-kegiatan system pendidikan
termasuk dokumen-dokumen yang harus dipersiapkan oleh guru. Ke depan guru harus
difokuskan untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Diklat-diklat yang
menyita waktu guru sebaiknya diupayakan dilakukan pada waktu libur sekolah baik
itu semester ganjil dan semester genap. Semoga ke depan tidak adalagi program
uang membuat “jibunisasi kewajiban guru” namun yang terjadi adalah
penyederhanaan kegiatan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tugas
pokondan fungsi guru. Widyaiswara dan instruktur-instruktur yang selama ini
selalu didominasi oleh pusat-pusat pengembangan bila turun ke daerah agar
pelaksanaannya dilakukan pada wilayah-wilayah terisolir dimana selama ini
banyak fokus kegiatan para widyaiswara dan instruktur selalu di kawasan
perkotaan. Semoga. (Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber relevan: penulis adalah guru SMPN 11 Kota Jambi).
No comments:
Post a Comment