Monday, May 16, 2016

IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013

Implementasi Kurikulum 2013 Akankah Berjalan Baik?
Oleh: Nelson Sihaloho
Perdebatan mengenai Kurikulum 2013 pada tataran politik berakhir pada tanggal 27 Mei 2013 lalu. Rencana pelaksanaan Kurikulum 2013, yang kontroversial selama beberapa bulan menjelang dimulainya tahun ajaran 2013/2014 diputuskan tetap jalan terus dan anggaran senilai Rp 829 miliar. Kini anggarannya telah dinikmati oleh sejumlah sekolah termasuk para stakeholders yang terkait dalam implementasi Kurikulum 2013.
Pendahuluan
Implementasi Kurikulum 2013 merujuk pada Surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) nomor: 0128/MPK/KR/2013 tertanggal 5 Juni 2013 yang ditujukan kepada para Kepala Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Intinya Kurikulum 2013 telah disepakati untuk diimplementasikan secara bertahap dan terbatas mulai Tahun Pelajaran 201312014. Implementasi Kurikulum 2013 pada tahun pertama ini mencakup sebanyak 6.325 sekolah sasaran yang tersebar di seluruh provinsi dan 295 kabupaten/kota. Merujuk pada surat Kemdikbud itu Kemdikbud membuka kesempatan terhadap sekolah yang tidak termasuk sekolah sasaran untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 mulai Tahun Pelajaran 201312014 secara mandiri dibawah koordinasi Dinas Pendidikan setempat. Kemdikbud juga memohon dalam suratnya kepada Dinas Pendidikan dapat melakukan pendaftaran terhadap sekolah-sekolah yang berminat. Perlu diperhatikan  tentang kesiapan sekolah dalam mengimplementasi Kurikulum 2013 seperti ketersediaan guru, akreditasi serta waktu persiapan yang memadai. Selain itu menyediakan anggaran untuk pengadaan buku bagi sejumlah siswa dan guru sesuai dengan jumlah buku yang harus disiapkan menurut jenjang pendidikan dan buku buku harus sudah siap pada awal Tahun Pelajaran 201312014. Menyiapkan guru untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Kemdikbud. Mengingat keterbatasan anggaran  yang tersedia, jumlah guru yang dapat dilatih melalui anggaran Kemdikbud adalah sangat terbatas dan diberikan secara proporsional kepada kabupaten/kota yang mengajukan serta menyelenggarakan pelatihan guru secara mandiri dengan anggaran sendiri dan berkoordinasi dengan Kemdikbud untuk penyediaan instruktur yang diperlukan. Implementasi Kurikum 2013 yang sudah dilaksanakan dengan harapan terjadi perubahan terhadap dunia pendidikan kita kelak akan menghadapi banyak hambatan yang datang dari para pelaksana kurikulum di sekolah. Implementasi Kurikulum 2013 jika merujuk pada fakta dan kenyataan seakan-akan kurikulum pendidikan di Indonesia adalah satu-satunya sumber dari keberhasilan pendidikan yang harus terus dibenahi, tanpa melihat unsur lain dalam pendidikan seperti peserta didik, guru, orang tua maupun sarana prasarana yang mendukung juga perlu dibenahi. Padahal pembenahan kurikulum di Indonesia terus dilakukan oleh pemerintah  sejak tahun 1947. M. Nuh (2013) mengungkapkan “Tema pengembangan kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Banyak kalangan menyangsikan kesiapan pemerintah melaksanakan kurikulum 2013 seperti seminar  dan soasialisasi. Namun dilapangan kenyataannya akan berbeda implementasinya terutama para guru dan sekolah sebagai pelaksana akan kelimpungan mengimplementasikan Kurikulum 2013. Tuntutan impelementasi Kurikulum 2013 itu sangat berat. M. Nuh (2013) menyatakan bahwa, pengembangan kurikulum­­ 2013, selain untuk memberi jawaban terhadap beberapa permasalahan yang melekat pa­da kurikulum 2006, bertujuan ju­ga untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan meng­omunikasikan (mempresentasikan), apa yang di­ per­oleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelaj­aran. Inti dari Kurikulum 2013, adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Lebh lanjut M. Nuh (2013) menyatakan bahwa sedikitnya ada dua faktor besar dalam ke­ berhasilan kurikulum 2013. Pertama, penen­tu, yaitu kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependi­dik­an (PTK) dengan kurikulum dan buku teks. Kedua, faktor pendukung yang terdiri dari tiga unsur; (i) ketersediaan buku sebagai ba­han ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan standar pem­bentuk kurikulum; (ii) penguatan peran pemerintah da­am pembinaan dan penga­wasan; dan (iii) penguatan ma­naj­emen dan budaya sekolah. Bahkan Kemdikbud sudah mende­sain­­ strategi penyiapan guru yang mel­ibatkan tim pengembang kurikulum di tingkat pusat,  instruktur diklat terdiri atas unsur dinas pendidikan, dosen, widya­swara, guru inti, pengawas, ke­­pala sekolah,  guru uta­ma meliputi guru inti, penga­was, dan kepala sekolah  dan guru mereka terdiri atas guru kelas, guru mata pelajaran SD, SMP, SMA, SMK. M. Nuh,et.al menyatakan sedikitnya ada empat aspek yang harus di­beri perhatian khusus dalam rencana implementasi dan ke­terlaksanaan kurikulum 2013, yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi akademik (keilmuan),  kompetensi social,  dan kompetensi manajerial atau kepemimpinan. Guru sebagai ujung tombak penerapan kurikulum, diharapkan bisa menyiapkan dan membuka diri terhadap beberapa kemung­kinan terjadinya perubahan. Kesiapan guru lebih penting­ daripada pengembangan kuri­kulum 2013, sebab kurikulum 2013 bertujuan mendorong peserta didik, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar,­ dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), terhadap apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah mene­rima materi pembelajaran. Melalui empat tujuan itu diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap, ketrampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif. Pada posisi ini guru berperan be­sar di dalam mengimplementa­sikan tiap proses pembelajaran pada kurikulum 2013. Guru ke depan dituntut tidak hanya cer­das tapi juga adaptip terhadap perubahan. Akankah implementasi kurikulum 2013 sejalan  dengan  teori kurikulum sebagaimana digambarkan oleh Anita Lie, 2012?.
Banyak Hambatan
Anita Lie (2012) menyatakan bahwa keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses panjang, mulai dari kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan, perumusan desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum, termasuk pembelajaran dan penilaian pembelajaran dan kurikulum. Struktur kurikulum dalam hal perumusan desain kurikulum, menjadi amat penting. Karena begitu struktur yang disiapkan tidak mengarah sekaligus menopang pada apa yang ingin dicapai dalam kurikulum, maka bisa dipastikan implementasinya pun akan kedodoran. Pendidikan memegang peran penting dalam era globalisasi. Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Global Third Way Debate” mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan, dan riset (seperti yang ditunjukkan oleh Jepang, China, dan Korea Selatan). Pemikiran Giddens adalah sangat relevan jika kita melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini yang mengalami penurunan.  Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada semua sektor kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Menurut Kuntowijoyo (2001) dalam era globalisasi kelak akan terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu negara, dari keunggulan komparatif (comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage) dimana keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sedangkan keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Menurut Suyanto (2007) “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu dan ditiru”. Kini kurikulum 2013 telah berjalan selama satu semester meskipun banyak pihak menilai memiliki banyak tantangan. Satu sisi Kemendikbud mengklaim bahwa implementasi kurikulum mendapatkan respon positif dari masyarakat dimana memerlukan kajian yang lebih komprehensif terhadap pihak-pihak yang menolak implementasi kurikulum 2013 tersebut. Penolakan dan dukungan terhadap kurikulum 2013 lebih merujuk pada sudut pandang sektoral.  Meski kurikulum berubah guru merupakan kunci utama keberhasilan proses pembelajaran di sekolah. Itulah sebabnya keberhasilan pendidikan sering dibebankan pada guru. Fakta dilapangan masih banyak guru yang belum selesai dengan urusannya sendiri. Masih sibuk untuk hal-hal yang di luar konteks menciptakan pembelajaran yang efektif.  Substansi suatu kurikulum adalah program pendidikan yang bertujuan membentuk siswa berkarakter, bertanggung jawab, pantang menyerah, dan tertanam jiwa nasionalisme. Penerapan kurikulum 2013 menjadi tantangan sekaligus peluang bagi guru untuk mewujudkan cita-cita pendidikan. Tenaga pendidikan dan kependidikan ditantang untuk menjembatani kondisi ideal dan kondisi nyata dunia pendidikan. Guru secara pribadi harus termotivasi dan tak segan mengeluarkan biaya untuk pengembangan potensi diri. Studi banding penting untuk memperoleh patokan atas apa yang telah dilakukan dan apa-apa saja yang dilakukan oleh sekolah lain. Guru juga perlu menambah durasi membaca buku atau hasil-hasil penelitian tentang pembelajaran dan pendidikan. Sekolah hendaknya dapat memiliki majalah pendidikan dan media komunikasi bagi guru yang idealnya menjadi sarana penyebarluasan informasi dan berbagi pengalaman. M. Nuh (2013) menyatakan dari tiga juta guru yang tercatat, baru 70.000 guru yang menjalani pelatihan dimana pemerintah akan kembali memberikan pelatihan kepada 80.000 guru untuk dijadikan instruktur nasional. M. Nuh,et.el menyatakan ada enam perubahan sebagai implementasi pelaksanaan kurikulum 2013. Pertama, tentang penataan sistem perbukuan yang harganya dapat ditekan semurah mungkin. Kedua, penataan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam penyiapan dan pengadaan guru. Ketiga, penataan atas pola pelatihan guru. Keempat, memperkuat budaya sekolah. Kelima, memperkuat NKRI, dan keenam, memperkuat integrasi pengetahuan-bahasa dan budaya. Praktisi pendidikan Romo Benny Susetyo (2013)  berpendapat, penerapan kurikulum baru yang tidak dibarengi dengan sosialisasi dan pelatihan yang mencukupi tidak akan memberikan manfaat bagi peserta didik. Idealnya para guru akan paham tentang kurikulum baru jika dilatih selama tiga hingga lima pekan setiap tahunnya secara rutin. Intinya masalah pendidikan kita bukan pada kurikulum, melainkan guru, peningkatan kualitas gurulah yang mesti diubah, bukan kurikulumnya.
Diklat Guru Meresahkan KBM
Implementasi Kurikulum 2013 membawa perubahan sekaligus membawa keresahan pada level sekolah. Adanya beberapa guru yang ditunjuk menjadi guru sasaran, guru pendamping menambah persoalan baru dalam lingkup sekolah. Sistem pelatihan yang “amburadul” dengan tidak mengacu pada kalender pendidikan menjadikan sekolah sering terganggu dengan ulah “diklat-diklat atau pelatihan-pelatihan”.  Belum lagi undangan “seminar-seminar” dari berbagai instansi ke lingkup sekolah ikut manambah daftar panjang keresahan dalam proses belajar mengajar. Apalagi dengan keterbatasan jumlah guru dalam lingkup sekolah siapakah yang berhak menggantikan dan mengisi jam mereka jika guru mengikuti pelatihan/seminar?. Belum lagi disiplin guru yan rendah bahkan sering mengabaikan tugas pokoknya sebagai guru menambah daftar panjang keresahan dalam kegiatan belajar mengajar. Ironisnya implementasi Kurikulum 2013 sebagaian ada guru yang menjadi guru sasaran dan  guru pendampng yang akan melakukan pemodelan. Layakkah guru dijadikan model jika dalam menjalankan tugas pokok fungsinya saja “amburadul”?. Mampukah Kurikulum 2013 menjawab tantangan Generasi Emas 2045?. Karena itu pemerintah perlu melakukan pengkajian secara matang perihal diklat atau pelatihan terhadap guru khususnya dalam pelatihan kurikulum. Diupayakan agar sekolah tdak sampai terganggu dengan kegiatan diklat/pelatihan. Solusi terbaik pelatihan dilakukan sewaktu libur.  Sebab saat ini banyak kegiatan pelatihan-pelatihan dari Kemdikbud selain Diklat Kurikulum 2013, diklat peningkatan kompetensi guru, diklat penulisan karya ilmiah bagi guru, diklat pengembangan profesi berkelanjutan (PKB) dan penilaian kinerja guru (PKG). Bahkan implementasi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN RB) No,. 16 tahun 2009 khusus untuk tenaga pendidik dan tenaga kependidikan belum berjalan dengan optimal.
Terbaik
Kurikulum 2013 diharapkan mampu memperkuat jati diri bangsa dalam menghadapi berbagai kompleksitas, tantangan baik secara internal maupun eksternal serta dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang maju dan kompetitif. Kurikulum merupakan instrumen strategis untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum harus mampu memperkuat jati diri bangsa dalam konteks dinamika perkembangan global. Kesiapan sekolah juga dipertaruhkan. Bila dirunut pada tahapannya dimana pada level birokrasi, perubahan kurikulum sampai kurikulum 2013 dilakukan melalui empat tahap. Pertama Kemendikbud mengembangkan kurikulum dengan melibatkan para pakar pendidikan, kebudayaan, sampai ilmuwan. Kedua, presentasi di depan Wakil Presiden RI Boediono pada (13/11/2012. Ketiga, uji publik selama tiga minggu untuk menghimpun berbagai masukan masyarakat. Keempat, memformulasi ulang masukan masyarakat.  Landasan digunakannya kurikulum 2013 menggantikan kurikulum sebelumnya (KTSP) adalah pertama landasan filosofi mencakup filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik dan masyarakat dan kurikulum berorientasi pada pengembangan kompetensi. Kedua lansadan yuridis tertuang dalam RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan,perubahan metodologi pembelajaran dan penataan kurikulum. Ketiga Inpres No.1 Tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional mengenai penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing karakter bangsa. Keempat landasan konseptual mencakup relevansi,model kurikulum berbasis bompetensi,kurikulum lebih dari sekedar dokumen,proses pembelajaran (aktivitas belajar, output belajar, outcome belajar) dan penilaian hasil belajar. Kurikulum 2013 arahnya sangat jelas, yaitu adanya keseimbangan kompetensi antara sikap (attitude), ketrampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge). Keseimbangan diperlukan karena kita merasa dirisaukan oleh pesereta didik yang tidak hanya memiliki kompetensi kognitif saja, tetapi juga harus memiliki kompetensi sikap, dan ketrampilan. Ke 4 kompetensi ini didukung oleh 4 pilar yaitu  produktif, kreatif, inovatif, dan afektif. Inovatif merupakan gabungan dari sifat produktif dan kreatif. M. Nuh (2013) menyatakan seseorang produktif dan kreatif, bukan berarti menjadi inovatif, tapi inovatif ini hanya bisa dibentuk kalau ada dua hal tersebut. Kurikulum 2013 adalah kurikulum terbaik yang dikembangkan oleh pemerintah dan merupakan kurikulum hasil koreksi dari kurikulum-kurikulum sebelumnya yaitu kurikulum yang dikembangkan berbasis penguatan penalaran, bukan hafalan semata. Kurikulum pendidikan di Indonesia dipandang perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pola pembelajaran harus diarahkan untuk mendorong siswa mencari tahu dan mengobservasi, bukan diberi tahu. Kurikulum 2013 sudah dilakukan uji publik, meskipun kurikulum-kurikulum sebelumnya tidak pernah dilakukan uji publik. Saatnya guru berinovasi mengimplemtasikan kurikulum 2013. Selamat Hari Guru Tahun 2013, Jadilah Guru Yang Profesional Sebagaimana Tertulis Pada Sertifikasi Anda,” GURU PROFESIONAL”. Semoga:! (Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber: penulis adalah guru SMPN 11 Kota Jambi).


PTK Berbasis Pengembangan Profesi

PTK Berbasis Pengembangan Profesi
Oleh: Nelson Sihaloho

Description: C:\Users\ASUS WIN 8\Pictures\s\JADO.jpg

Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, berlaku efektif sejak Januari 2013. Berbagai pro kontra tentang aturan baru itu membuat sebagian besar guru menyoal peraturan tersebut. Pasalnya dalam Permenpan itu setiap naik golongan kepangkatan, guru wajib membuat artekel yang dimuat di media massa.
Sejak  kuliah guru telah diajarkan tentang menulis karya ilmiah popular terutama yang berkaitan dengan penulisan skripsi dan penelitian ilmiah. Apabila saat ini banyak guru yang memprotes soal  kewajiban menulis karya ilmiah dan artikel  sudah sepatutnya kompetensi profesionalismenya dipertanyakan. Ketentuan kenaikan dari III-b ke III-c, wajib menulis artikel dan dimuat di koran atau majalah yang resmi baik level nasional maupun lokal merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu kualitas guru khususnya dalam peningkatan kompetensi profesionalismenya.
Persoalannya sekarang pihak yang membuat peraturan itu tidak mengkaji secara lebih komprehensif dan menyeluruh tentang hambatan dan kendala yang dihadapi oleh guru dalam mempublikasikan hasil karya imiahnya. Tidak menutup kemungkinan para Tim Penilaia Angka Kredit Jabatan Guru yang diangkat dan ditunjuk oleh pihak berwenang tidak pernah melakukan publikasi ilmiah maupun menulis artikel di media massa.
Dugaan kuat semakin menjamurnya sewa menyewa jasa ghost writer dengan imbalan tertentu agar hasil karya tulis ilmiah dan artikel guru semakin menyeruak. Saat ini berkembang  dugaan praktek lebih kotor untuk pemuatan hasil penelitian  diberbagai media jurnal atau  media massa yang tidak mengutamakan mutu dan kualitas hasil penelitian ilmiah guru ataupun artikel guru. Namun demikian media-media yang selalu mengutamakan mutu dan kualitas penerbitannya akan mempertimbangkan  serta selektif  memuat setiap naskah yang masuk ke redaksi. 
Dugaan semakin banyak praktik jurnal ilmiah bisa dicincai (diakali- red) mengindikasikan bahwa guru juga mencincai  kompetensi profesionalismenya. Banyak kini guru-guru tidak sadar akan keberadaannya, meskipun telah 14 tahun tidak naik golongan dari IV/a ke IV/b masih menganggap dirinya lebih profesional dari golongan IV/b. Termasuk oknum-oknum pengawas dilapangan terlihat  masih juga “petantang-petenteng” meskipun telah puluhan tahun tidak naik-naik golongan.
Apabila Peraturan Menpan No16 Tahun 2009 dan Permendikbud No 35 tahun 2010 yang keduanya mengatur tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya oknum-oknum Kepala Sekolah yang tidak naik golongan hingga 10 tahun dari IV/a ke IV/b juga tidak layak dipertahankan. Bahkan Permendiknas no. 28 Tahun 2010 tentang penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah sudah layak direvisi dan diganti dengan peraturan baru.
Mengapa Guru perlu melakukan penelitian?
Penelitian atau “research” adalah upaya mendalami kebenaran dan membangun kekayaan intelektual. Terjadinya akumulasi “knowledge” melalui proses berpikir (reasoning dan learning) secara terus menerus adalah faktor yang terpenting dalam upaya mencari solusi terhadap permasalahan yang dihadapi di dalam kehidupan. Agar hasil penelitian guru memiliki nilai daya guna dan tersebar secara luas diperlukan penulisan karya ilmiah berupa publikasi ilmiah. Publikasi ilmiah dimaksudkan untuk mendokumentasikan sebuah karya ilmiah sehingga proses akumulasi ilmu pengetahuan (knowledge) bisa terus berjalan.  Karena itu, dunia pendidikan yang merupakan dunia ilmiah memiliki tanggung jawab besar untuk mampu melakukan penelitian dengan mutu yang baik dan selanjutnya mempublikasikannya. Peranan pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dan pengembanganilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks) praktis mutlak diperlukan untuk mendorong pertumbuhan SDM dan ekonomi. Indonesia memiliki kemampuan dalam penguasaan ipteks yang luas tetapi masih memiliki kelemahan mendasar dalam research & development (R&D) untuk inovasi teknologi. Fokus R&D harus diarahkan untuk mendukung industrialisasi, pengembangan sektor pertanian dan jasa. Warsito (2006) peneliti Indonesia di Ohio State University menyatakan bahwa tanpa R&D Indonesia tidak akan “ survive” dalam kompetisi global.
PTK Lebih Efektif
Kegiatan penelitian memang tidak mudah karena pertanggungjawaban teoretisnya cukup berat terutama penelitian tindakan dimana guru melakukan penelitian di kelas. Dengan basis dikelas guru lebih mampu mengatasi berbagai persoalan dengan melakukan penelitian tindakan dan berbeda konteksnya dengan lain. Penelitian tindakan merupakan intervensi praktik dunia nyata yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis. Tentu penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan situasi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dan disebut ’penelitian tindakan kelas’ atau PTK. (Burns, 1999: 30; Kemmis & McTaggrt, 1982: 5; Reason & Bradbury,2001: 1).
 (PTK) bersifat situasional, kontekstual, berskala kecil, terlokalisasi, dan secara langsung gayut (relevan) dengan situasi nyata dalam dunia kerja guru. Subyek dalam PTK termasuk didalamya adalah murid atau siswa,  Untuk dapat meraih perubahan yang diinginkan melalui PTK sejumlah syarat harus dipenuhi  diantaranya  guru dan kolaborator serta murid-murid harus mempunyai tekad dan komitmen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Komitmen itu terwujud dalam keterlibatan siswa dalam seluruh kegiatan PTK secara proporsional,( McNiff, Lomax dan Whitehead (2003).
Kedua, guru sebagai kolaborator menjadi pusat dari penelitian sehingga dituntut untuk bertanggung jawab atas peningkatan yang akan dicapai. Ketiga, tindakan yang akan dilakukan hendaknya didasarkan pada pengetahun, baik pengetahuan konseptual dari tinjauan pustaka teoretis, maupun pengetahuan teknis prosedural, yang diperoleh lewat refleksi kritis dan dipadukan dengan pengalaman orang lain dari tinjauan pustaka hasil penelitian tindakan), berdasarkan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
Refleksi kritis dapat dilakukan dengan baik jika didukung oleh keterbukaan dan kejujuran terhadap diri sendiri, khususnya kejujuran mengakui kelemahan/kekurangan diri. Keempat, tindakan tersebut dilakukan atas dasar komitmen kuat dan keyakinan bahwa situasi dapat diubah ke arah perbaikan. Kelima,penelitian tindakan melibatkan pengajuan pertanyaan agar dapat melakukan perubahan melalui tindakan yang disadari dalam konteks yang ada dengan seluruh kerumitannya. Keenam, guru sebagai penelitia mesti mamantau secara sistematik agar guru mengetahui dengan mudah arah dan jenis perbaikan, yang semuanya berkenaan dengan pemahaman yang lebih baik terkadap praktik dan pemahaman tentang bagaimana perbaikan ini telah terjadi. Kutujuh, peneliti perlu membuat deskripsi otentik objektif (bukan penjelasan) tentang tindakan yang dilaksanakan dalam riwayat faktual, perekaman video and audio, riwayat subjektif yang diambil dari buku harian dan refleksi dan observasi pribadi, dan riwayat fiksional.
Kedelapan, peneliti/guru perlu memberi penjelasan tentang tindakan berdasarkan deskripsi autentik tersebut di atas, yang mencakup identifikasi makna-makna yang mungkin diperoleh (dibantu) wawasan teoretik yang relevan, pengaitan dengan penelitian lain (misalnya lewat tinjauan pustaka di mana kesetujuan dan ketidaksetujuan dengan pakar lain perlu dijelaskan), dan konstruksi model (dalam konteks praktik terkait) bersama penjelasannya; mempermasalahkan deskripsi terkait, yaitu secara kritis mempertanyakan motif tindakan dan evaluasi terhadap hasilnya; serta teorisasi, yang dilahirkan dengan memberikan penjelasan tentang apa yang dilakukan dengan cara tertentu.
Guru sebagai peneliti perlu menyajikan laporan hasil PTK dalam berbagai bentuk termasuk didalamnya adalah  tulisan tentang hasil refleksi-diri, dalam bentuk catatan harian dan dialog,
yaitu percakapan dengan dirinya sendiri, percakapan tertulis, yang dialogis, dengan gambaran jelas tentang proses percakapan tersebut; narasi dan cerita serta  bentuk visual seperti diagram, gambar, dan grafik. Guru sebagai peneliti perlu memvalidasi pernyataan Anda tentang keberhasilan tindakan  melalui pemeriksaan kritis dengan mencocokkan pernyataan dengan bukti (data mentah), baik dilakukan sendiri maupun bersama teman (validasi-diri), meminta teman sejawat untuk memeriksanya dengan masukan dipakai untuk memperbaikinya (validasi sejawat), dan terakhir menyajikan hasil seminar dalam suatu seminar (validasi public). Perlu dipastikan bahwa temuan validasi selaras satu sama lain karena semuanya berdasarkan pemeriksaan terhadap penyataan dan data mentah. Jika ada perbedaan, pasti ada sesuatu yang masih harus dicermati kembali.
Itulah sebabnya seringkali PTK berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pembelajaran kelas. Cohen & Manion, 1980: 211 menyatakan PTK berfungsi sebagai  alat untuk mengatasi masalah-masalah yang didiagnosis dalam situasi pembelajaran di kelas; alat pelatihan dalam-jabatan, membekali guru dengan keterampilan dan metode baru dan mendorong timbulnya kesadaran-diri, khususnya melalui pengajaran sejawat. Alat untuk memasukkan ke dalam sistem yang ada (secara alami) pendekatan tambahan atau inovatif; alat untuk meningkatkan komunikasi yang biasanya buruk antara guru dan peneliti; serta  alat untuk menyediakan alternatif bagi pendekatan yang subjektif, impresionistik terhadap pemecahan masalah kelas.
Ada beberapa butir penting yang perlu digarisbawahi dalam PTK ini yaitu hasil penelitian tindakan dipakai sendiri oleh penelitinya, dan tentu saja oleh orang lain yang menginginkannya. Penelitiannya terjadi di dalam situasi nyata yang pemecahan masalahnya segera diperlukan, dan hasil-hasilnya langsung diterapkan/dipraktikkan dalam situasi terkait serta  peneliti tindakan melakukan sendiri pengelolaan, penelitian, dan sekaligus
pengembangan.
Kriteria Keberhasilan
Agar PTK berhasil, PTK harus memenuhi kriteria validitas dimana dasar validitas untuk penelitian tindakan condong ke makna dasar validitas dalam penelitian kualitatif, yaitu makna langsung dan lokal dari tindakan sebatas sudut pandang peserta penelitiannya (Erickson, 1986, disitir oleh Burns, 1999). Sekait dengan itu kredibilitas penafsiran peneliti dipandang lebih penting daripada validitas internal (Davis, 1995, disitir olehBurns, 1999). Karena PTK bersifat transformatif, maka kriteria yang cocok adalah validitas demokratik, validitas hasil, validitas proses, validitas katalitik, dan validitas dialogis, yang harus dipenuhi dari awal sampai akhir penelitian, yaitu dari refleksi awal saat kesadaran akan kekurangan muncul sampai pelaporan hasil penelitiannya (Burns, 1999: 161-162, menyitir Anderson dkk,1994).
Validitas: demokratik, hasil, proses, katalitik, dan dialoguis.
Untuk meningkatkan validitas PTK  peneliti harus meminimalkan subjektivitas melalui trianggulasi. Trianggulasi adalah: trianggulasi waktu, trianggulasi ruang, trianggulasi peneliti, dan trianggulasi teoretis (Burns, 1999: 164). Trianggulasi waktu dapat dilakukan dengan mengumpulkan data dalam waktu yang berbeda, sedapat mungkin meliputi rentangan waktu tindakan dilaksanakan dengan frekuensi yang memadai untuk menjamin bahwa efek perilaku tertentu bukan hanya suatu kebetulan.
Reliabilitas data PTK guru secara hakiki memang rendah. Sebab  situasi PTK terus berubah dan proses PTK bersifat transformatif tanpa kendali apapun (alami) sehingga sulit untuk mencapai tingkat reliabilitas yang tinggi, padahal tingkat reliabilitias tinggi hanya dapat dicapai dengan mengendalikan hampir seluruh aspek situasi yang dapat berubah (variabel) dan hal ini tidak mungkin atau tidak baik dilakukan dalam PTK.
PTK memiliki kelebihan (Shumsky, 1982) menyatakan  tumbuhnya rasa memiliki melalui kerja sama dalam PTK; tumbuhnya kreativitias dan pemikiran kritis lewat interaksi terbuka yang bersifat reflektif/evaluatif dalam PTK; dalam kerja sama ada saling merangsang untuk berubah; dan  meningkatnya kesepakatan lewat kerja sama demokratis dan dialogis dalam PTK (Passow, Miles, dan Draper, 1985). PTK guru juga memiliki kelemahan yaitu  kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam teknik dasar penelitian pada Anda sendiri karena terlalu banyak berurusan dengan hal-hal praktis, rendahnya efisiensi waktu karena guru harus mempunyai komitmen peneliti untuk terlibat dalam prosesnya sementara Anda masih harus melakukan tugas rutin ; konsepsi proses kelompok yang menuntut pemimpin kelompok yang demokratis dengan kepekaan tinggi terhadap kebutuhan dan keinginan anggota-anggota kelompoknya dalam situasi tertentu, padahal tidak mudah untuk mendapatkan pemimimpin demikian. Agar PTK berhasil menurut Hodgkinson, 1988), ada persyaratan yang harus dipenuhi  yaitu kesediaan untuk mengakui kekurangan diri; kesempatan yang memadai untuk menemukan sesuatu yang baru; dorongan untuk mengemukakan gagasan baru; waktu yang tersedia untuk melakukan percobaan; kepercayaan timbal balik antar orang-orang yang terlibat;  serta pengetahuan tentang dasar-dasar proses kelompok oleh peserta penelitian.
Prinsip-prinsip etika yang perlu diterapkan dalam melakukan PTK  menurut  McNiff, Lomax dan Whitehead, 2003 adalah kelengkapan dokumen, menjaga kerahasian, menjaga Kode Etik Profesional dan Akademik.  Ada beberapa langkah yang hendaknya diikuti dalam melakukan penelitian tindakan. Sebagaimana Cohen dan Manion, 1908; Taba dan Noel, 1982; Winter, 1989 menjelaskan bahwa langkah-langkahnya antara lain mengidentifikasi dan merumuskan masalah; menganalisis masalah; merumuskan hipotesis tindakan; membuat rencana tindakan dan pemantauannya. Kemudian  melaksanakan tindakan dan mengamatinya;  mengolah dan menafsirkan data serta  melaporkan hasil penelitian.

Demikian sekilas tentang bagaimana jabatan guru sebagai sebuah profesi yang menuntut peningkatan kinerja dalam menjalankan tugas kompetensi profesionalismenya. Solusi terbaik bagi guru agar golongan kepangkatannya tidak mentok pada IV/a adalah dengan melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). PTK berbasis pengembangan profesi selain lebih praktis dapat dilakukan mengajar sambil meneliti. (dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan: Penulis tinggal di kota Jambi).. 

MENULIS ARTIKEL ILMIAH POPULER

Menulis Artikel Ilmiah Populer
Oleh: Nelson Sihaloho
Description: C:\Users\ASUS WIN 8\Pictures\s\JADO.jpg

Kata-Kata Bijak:
Menulislah. selama engkau tidak menulis, engkau akan hilang dari dalam masyarakat dan dari pusaran sejarah (Pramoedya Ananta Toer dalam Nurudin, 2007).

Pujian terbesar untuk karya saya tertuju kepada imajinasi, padahal sebenarnya tidak satu pun baris dalam semua karya saya yang tidak berpijak pada kenyataan.)Gabriel Garcia Marque)z

Seringkai kita mendengar bahwa menulis itu seperti berbicara, hanya saja  dituangkan dengan bahasa tulis, bahkan seorang yang ahli menulispun seringkali merasakan bahwa tulisannya belum standar serta terdapat kekurangan.  Tidak dapat dipungkiri bahwa balah satu unsur penting pada karya grafis mode  termasuk pada karya tulis ilmiah populer adalah tipografi.  Tipografi menurut Frank Jefkins (1998: 87) adalah, “Disiplin ilmu yang mempelajari nilai fungsional, seni dalam memilih huruf, dan nilai estetik dari huruf”. Tipografi dalam hal ini adalah seni memilih jenis huruf, ukuran huruf, jarak antar baris, dan  lebar paragraf, dengan tujuan  pembaca nyaman dalam membaca sehingga pesan yang ingin disampaikan dapat dipahami.
Karya ilmiah populer yang baik bukan berarti menulis hasil penelitian dengan lengkap. Prinsip utamanya adalah mencari sudut pandang yang unik dan cerdas, serta menggugah rasa ingin tahu pembaca awam. Sebetulnya menulis ilmiah populer mudah dan berbeda dengan menulis cerpen atau non-fiksi yang memerlukan keratifitas dan imajinasi tinggi.
Secara umum, sekurang-kurangnya ada tiga proses menulis yang ditawarkan oleh David Nunan, yakni; tahap pra-penulisan, tahap penulisan, dan  tahap perbaikan (editing). Dalam prakteknya proses ini akan menjadi empat tahap, yaitu; tahap persiapan (pra-penulisan), tahap,  inkubasi, tahap iluminasi serta  tahap verifikasi/evaluasi. Karya ilmiah sendiri  merupakan sebuah karya tulis yang berpegang kepada standar ilmiah dengan melakukan beberapa analisis yang ada pada kehidupan masyarakat luas dan ditulis secara sistematis.
Meski demikian ditampilkan dengan bahasa umum sehingga mudah dipahami oleh masyarakat luas. Jenis karya tulis ini banyak dimuat pada surat kabar dan sejenisnya. Dengan rajin  mendengar, melihat, dan membaca maka dengan begitu kita akan merasa lebih mudah dalam membuat sebuah karya tulis, semakin banyak sebuah informasi yang telah diterima maka semakin apik dan indahlah karya tulis yang akan dihasilkan.
Sebuah karya tulis yang bagus dapat dinilai dari seberapa banyak orang yang mampu memahami karya tulis yang telah dibuat. Pada era teknologi dan digital era saat ini, kebutuhan akan informasi sangat penting. Dibutuhkan mobilitas tinggi dalam penyebaran informasi bahkan tulisan yang populer lebih menggunakan data-data, kata-kata, atau istilah yang biasanya digunakan saat ini.
Itulah sebabnya mengapa disebut populer. Meskipun tulisan populer sebagian besar menggunakan gaya bahasa yang sedang populer saat itu namun harus mengacu pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), berdasarkan realita yang ada dan yang sedang populer saat ini. Dalam tatacara  menulis hal-hal penting dan aspek-aspek yang perlu diperhatikan.
Proses Menulis Ilmiah Populer
Hampir semua proses menulis (esai, opini/artikel, karya ilmiah, artistic, dan lain-lain) melalui empat tahap, yakni tahap persiapan (pra-penulisan), tahap,  inkubasi, tahap iluminasi serta  tahap verifikasi/evaluasi ini.  Tahap persiapan atau prapenulisan adalah ketika penulis menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati, dan lain-lain yang memperkaya masukan kognitif yang akan diproses selanjutnya. Tahap inkubasi adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya sedemikian rupa, sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah atau jalan keluar yang dicarinya. Proses inkubasi ini analog dengan ayam yang mengerami telurnya sampai telur menetas menjadi anak ayam. Tahap iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi atau insight, yaitu gagasan datang seakan-akan tiba-tiba dan berloncatan dari pikiran kita.
Tahap terakhir yaitu verifikasi atau evaluasi, apa yang dituliskan sebagai hasil dari tahap iluminasi itu diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan fokus tulisan. Mungkin ada bagian yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal yang perlu ditambahkan, dan lain-lain. Mungkin juga ada bagian yang mengandung hal-hal yang peka, sehingga perlu dipilih kata-kata atau kalimat yang lebih sesuai, tanpa menghilangkan esensinya. Selain itu ada hal lainya yang perlu diperhatikan  untuk mengevaluasi setiap bagian dari menulis yakni fokus, pembangunan, organisasi, gaya dan konvensi.
Menyusun strategi sebelum menulis kita perlu memiliki suatu modal yakni Think twice before writing, kata Ken Golstein penulis dari Columbia School of Journalism. Sebelum mulai menulis ilmiah populer, dan sebelum anda masuk kepada dramaturgi, sistematik tulisan, detail, setidaknya kita harus memiliki strategi. Strateginya adalah kepada siapa kita menyajikan tulisan anda?
Media apa yang anda pilih (internet, televisi, koran, majalah, radio, dsb) Gaya penulisan apa yang paling tepat? Berapa lama para pembaca meluangkan waktu untuk membaca tulisan anda?.
Aspek yang Perlu Diperhatikan
Adapun aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam membuat sebuah karya tulis yakni sederhana, berorientasi pada pembaca, hindari istilah asing, hindari penulisan jargon, singkatan dan akronimi. Selain itu tulisan harus spesifik dan konkrit, menggunakan analogi sederhana. Untuk tulisan opin dan artikel harus terlebih dahulu dibuat kerangka tulisannya, kenali gaya selingkung media massa yang akan dituju, membuat judul agitatif yang dapat mempengaruhi pembaca bernilai positif. Harus menyertakan data sederhana untuk mendukung karya tulis, perlu dimasukkan beberapa kutipan singkat  para tokoh yang menulis hal serupa serta berikan data yang sedikit menjual.
Sumber KOMPAS 9 Februari 2012 mengemukakan ada anyak panduan yang bisa membantu kita dalam menulis sebuah jurnal ilmiah. Panduan yang satu ini, mungkin bisa dijadikan referensi. Format umum untuk jurnal ilmiah biasanya terdiri dari judul, abstrak;.Pendahuluan; Bahan dan metode; Hasil; Pembahasan; Kesimpulan; Daftar pustaka.
Karya Ilmiah Populer
Karya ilmiah adalah karya tulis yang penyusunan dan penyajiannya didasarkan pada kajian ilmiah dan cara kerja ilmiah. Penyusunan dan penyajian karya didahului oleh studi pustaka dan studi lapangan. Jenis karya ilmiah yang termasuk dalam bagian ini adalah karangan ilmiah: memiliki aturan baku dan sejumlah persyaratan khusus yang menyangkut metode dan penggunaan bahasa seperti makalah, laporan, skripsi, tesis dan disertasi.  Karangan non ilmiah: karangan yang tidak terikat pada karangan baku misalnya  anekdot, opini, dongeng, hikayat, cerpen, novel, roman, dan naskah drama. Sedangkan karangan semi ilmiah atau ilmiah populer: karakteristiknya berada di antara ilmiah dan non-ilmiah seperti  artikel, editorial, opini, feuture dan reportase.
Adapun ciri-ciri karya ilmiah yakni merupakan pembahasan suatu hasil penelitian (faktual objektif ) diman fakta sesuai dengan yang diteliti. Bersifat metodis dan sistematis dimana dalam pembahasan masalah digunakan metode tertentu dengan langkah langkah yang teratur dan terkontrol secara tertib dan rapi. Tulisan ilmiah menggunakan laras ilmiah dengan laras bahasa ilmiah harus baku dan formal.
Selain itu laras ilmiah harus lugas agar tidak ambigu.
Prinsi-prinsip yang harus diperhatikan dalam penulisan karya ilmiah populer harus . objektif karena  setiap pernyataan ilmiah dalam karyanya harus didasarkan kepada data dan fakta. Kegiatan ini disebut studi empiris, prosedur atau penyimpulan penemuannya melalui penalaran induktif dan deduktif serta rasio dalam pembahasan data. Seorang penulis karya ilmiah dalam menganalisis data harus menggunakan pengalaman dan pikiran secara logis.
Sebuah topik karya ilmiah populer yang baik harus aktual, berasal dari dunia atau bidang kehidupan yang akrab dengan penulis. Memiliki nilai tambah atau memiliki arti yang penting (baik bagi penulis sendiri atau bagi orang lain). Selaras dengan tujuan penulis dan selaras dengan calon pembaca, asli, bukan pengulangan atas hal yang sama yang pernah disajikan oleh orang lain serta tidak menyulitkan pencarian data, bahan, dan informasi lain yang diperlukan.
Penggunaan bahasa dalam karya ilmiah populer dapat dibedakan atas bidang-bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti ragam bahasa hukum, ragam bahasa niaga, ragam bahasa sastra, dan ragam bahasa jurnalistik. Karakteristik ragam bahasa karya ilmiah: singkat, padat, sederhana, lugas, lancar, dan menarik. Gaya penulisan karya ilmiah hendaknya memiliki kejelasan dimana setiap karya ilmiah harus mampu menyampaikan informasi kepada pembaca tentang objek penelitiannya secara gamblang. Reproduktif: kejelasan tulisan dibicarakan sebagai photo copy dari aslinya serta  Impersonal: peniadaan kata ganti perorangan seperti “saya” atau “peneliti”.

Banyak sekali manfaat yang dapat kita peroleh dalam penulisan karya ilmiah populer. Diantaranya  mengembangkan keterampilan membaca yang efektif, karena sebelum menulis karya ilmiah, penulis harus membaca terlebih dulu. Terlatih menggabungkan hasil bacaan dari berbagai sumber dan mengembangkan ke tingkat pemikiran yang lebih matang. Akrab dengan kegiatan perpustakaan, seperti bahan bacaan dalam katalog pengarang atau katalog judul buku. Meningkatkan keterampilan dalam mengorganisasikan dan menyajikan fakta secara jelas dan sistematis. Memperoleh kepuasan intelektual, memperluas cakrawala ilmu pengetahuan masyarakat serta serta dalam usaha pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Semoga bermanfaat.  Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber: (Penulis adalah: Guru SMP Negeri 11 Kota Jambi)

ISU-ISU STRATEGIS PENDIDIKAN

Isu-Isu Strategis Pendidikan Kita
Oleh: Nelson Sihaloho
Description: C:\Users\ASUS WIN 8\Pictures\s\JADO.jpg

Isu-isu mutakhir dan urgensial yang perlu dikritisi tentang pendidikan kita adalah peningkatan mutu, pemerataan akses serta efisiensi anggaran. Di satu sisi mutu pendidikan terkait langsung dengan kualitas guru dan tenaga kependidikan baik itu kepala sekolah, pengawas. Kurikulum, metode pembelajaran, bahan ajar, alat bantu pembelajaran serta  manajemen sekolah.
Lyn Haas (Haas, 1994: 21) menjelaskan, bahwa lembaga-lembaga pendidikan sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yakni pendidikan untuk semua;  memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini. Penekanan pada kerjasama, pengembangan kecerdasan ganda;  integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki kepekaan sosial. Fakta dilapangan justeru semakin berkembang tingkat kriminalitas,  masalah kenakalan remaja akibat imbas dari perkembangan teknologi yang pada akhirnya perlu dipertanyakan apakah kenakalan remaja itu menjadi tugas guru?
Apakah guru juga ikut  andil dalam menciptakan kriminalitas dan kenakalan remaja di negeri ini? Apakah guru juga ikut andil dalam menciptakan ketimpangan dan kesenjangan dalam lapangan pekerjaan?  Apakah guru juga ikut andil dalam menciptakan terjadinya krisis serta pengangguran di negeri  ini? 
Masalah Urgensial
Masalah sumber daya manusia (SDM) merupakan problem yang paling mendasar dalam menghadapi persaingan ekonomi global. Tingkat persaingan pasar tenaga kerja semakin lebih kompetitif  bahkan kualitas SDM memiliki urutan teratas dalam seleksi dunia kerja termasuk didalamnya selera global. Proses transaksi yang semakin cepat dengan “less papers/documents” dapat mempergunakan jaringan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih.
Kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) yang mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows), pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang mendasar dan harus dilakukan dalam dunia pendidikan kita. Realitas globalisasi yang membawa sejumlah implikasi terhadap pengembangan SDM di Indonesia wajib dilakukan.  
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan saat ini yakni pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Beberapa isu strategis lainnya bahwa problem utama dalam pembangunan SDM adalah terjadinya missalocation of human resources.  Belum lagi tentang program Milenium Development Goals (MDGs) dan akan berakhir tahun 2015 ditandatangani oleh  189 negara pada September 2000.
Komitmen bersama terhadap pemenuhan hak- hak dasar manusia, dirumuskan dalam  delapan tujuan MDGs itu yakni penghapusan kemiskinan   (Eradicate extreme poverty and hunger), pendidikan untuk semua  (Achieve universal primary education),  persamaan gender  (Promote gender equality and empower women),  perlawanan terhadap penyakit  (Combat HI V/AIDS, malaria, and other diseases),  penurunan angka kematian anak  (Reduce child mortality),  peningkatan kesehatan ibu  (Improve Maternal Health),  pelestarian lingkungan hidup  (Ensure Environmental Sustainability) serta  kerja sama global  (Develop a global partnership for development).
Pendidikan mempunyai perang penting, karena pendidikan mampu meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, menyambungkan petensi peserta didk gar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratif serta bertanggung jawab.  Banyak para para dan ahli pendidikan mengungkapkan bahwa terhambatnya peningkatan pendidikan di Indonesia disebabkan tidak fokusnya arah peningkatan pendidikan itu sendiri. Perlu disadari bahwa kualitas pendidikan akan jauh lebih penting apabila dibandingkan dengan pembangunan gedung-gedung, sumber daya alam yang tersedia di masing-masing daerah  maupun negara.
Negara-negara maju di dunia berhasil karena ditopang oleh SDM berkualitas sehingga memiliki keunggulan hampir di semua bidang, termasuk ekonomi. Menurut sejumlah ahli, pendidikan merupakan salah satu elemen paling penting dalam membangun kesejahteraan bangsa dalam teori pembangunan konfensional. Sebab di Indonesia, masalah pendidikan yang berkualitas belum mendapat perhatian secara professional. Bahkan  teori ini masih meyakini sumber pertumbuhan keterampilan itu terletak konsentrasi modal fisik yang diinvestasikan dalam suatu proses produksi seperti pabrik dalam alat produksi modal fisik termasuk juga pembangunan infrastruktur  transportasi, komunikasi, dan irigasi untuk mempermudah transaksi kreativitas.
Pendidikan yang tidak bermutu hanya menghasilkan manusia yang cerdas dari sisi olah pikir (kognitif), tapi tidak cerdas untuk sisi sosial, emosional, dan spiritualnya dan cenderung perilakunya menyimpang, sehingga dalam lingkup sekolah kerapkali terjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka oknum Kepala Sekolah dan Guru hanya memikirkan dan memperkaya diri dan kelompoknya, dan meninggalkan kaum papa yang mengharapkan uluran tangan mereka. Pendidikan yang tidak berkualitas hanya menghasilkan manusia-manusia pintar yang hanya pintar membodohi sesamanya, dan cerdas merampok bangsa dan negaranya.
SDM dan Kompetensi Guru
Ubrodiyanto (2007) menemukan beberapa kendala didalam tataran praktis pengembangan kualitas guru yakni;pengembangan kualitas guru merupakan investasi yang hasilnya tidak bersifat instant atau merupakan investasi jangka panjang (long-term investment).  Pengembangan kualitas guru mengarah kepada peningkatan soft skill yang tidak berwujud secara fisik. Pengembangan kualitas guru menuntut perencanaan dan pelaksanaan program yang berkesinambungan.
Rawan terjadinya pembajakan atas guru dan tenaga kependidikan yang telah dilakukan up grade oleh institusi-institusi lainnya dengan berbagai motivasi. Pendidikan yang bermutu memiliki kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Forward linkage berarti bahwa pendidikan yang bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern, dan sejahtera.
Sedangkan Backward linkage berarti bahwa pendidikan yang bermutu tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yaitu guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat.
Salah satu upaya yang telah dilakukan berkaitan dengan faktor guru adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kedua regulasi tersebut merupakan kebijakan pemerintah yang memuat usaha pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Pembaharuan sistem pendidikan tergantung pada bagaimana guru berpikir dan bertindak.  Meskipun kedua regulasi tersebut telah ditetapkan, namun masih ada berbagai masalah terkait kondisi guru. Diantaranya keberagaman kemampuan guru dalam proses pembelajaran dan penguasaan pengetahuan; belum adanya alat ukur yang akurat untuk mengetahui kemampuan guru; pembinaan yang dilakukan terhadap guru belum mencerminkan kebutuhan serta kesejahteraan guru yang belum memadai.
Menurut Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Sekolah menghadapi berbagai tantangan kompetitif terkait masalah globalisasi, peningkatan profitabilitas melalui pertumbuhan, modal intelektual, teknologi, serta perubahan yang berkesinambungan. Diperlukan sistem pengelolaan SDM pendidikan yang bersifat strategis, terintegrasi, saling berkaitan, dan bersatu-padu melalui manajemen SDM pendidikan berbasis kompetensi guru.
Kompetensi dapat dipadukan dengan soft skill, hard skill, social skill, dan mental skill (Hanafi, 2007). Soft skill meliputi intuisi dan kepekaan SDM. Hard skill meliputi pengetahuan dan keterampilan fisik SDM. Social skill meliputi keterampilan dan hubungan sosial SDM serta  Mental skill meliputi mental SDM.
Kompetensi adalah karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu di dalam pekerjaannya (Mitrani et al, 1992).  Spencer dan Spencer (1993) membagi kompetensi atas dua kategori. Pertama, threshold competencies, yaitu karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya. Kedua, differentiating competencies, yaitu faktor-faktor yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah.
Kompetensi dapat dipandang dari keadaan yang sebenarnya terkait dengan individu dan pekerjaannya (Moqvist, 2003). Sementara itu, Holmes (1993) mengatakan bahwa kompetensi
dapat dijelaskan dengan kondisi di mana seseorang bekerja dalam bidang pekerjaan tertentu yang seharusnya mampu dilakukan. Supaya dapat melakukan sesuatu dalam pekerjaannya, seseorang harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan keteram-pilan (skill) yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Kondisi kerja yang baik akan membuat guru diterima dan nyaman dalam bekerja sehingga guru bekerja sukarela dan tanpa paksaan. National Board for Professional Teaching Standards (2002) telah merumuskan standar kompetensi bagi guru di Amerika yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan “What Teachers Should Know and Be Able To Do”. Hanafi (2007) menjelaskan beberapa manfaat yang dapat diterima dengan adanya peta kompetensi guru. Diantaranya sekolah dapat mengetahui guru mana yang siap mengisi posisi tertentu yang sesuai dengan kompetensi yang dituntut serta bagaimana cara untuk menarik atau menyeleksi calon guru, baik dari dalam sekolah maupun dari luar sekolah.
Sekolah dapat mengetahui arah pengembangan guru, bukan hanya sekedar ikut tren pengembangan guru yang ada, tetapi benar-benar mengembangkan guru sesuai dengan kebutuhan kompetensinya; sekolah dapat lebih adil dalam memberikan kompensasi guru. Sekolah dapat menyusun perencanaan karier yang lebih pasti bagi gurunya serta sekolah dapat menilai kinerja guru secara lebih adil. Mengutip pendapat dan hasil penelitian Goleman (1996) yang berkata bahwa apabila bagian otak yang digunakan untuk merasakan telah rusak, maka individu yang bersangkutan tidak dapat berpikir secara efektif.
Agar kinerja guru dapat meningkat serta mencapai standar kompetensi tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Manajemen kinerja guru berkaitan erat dengan tugas kepala sekolah melakukan komunikasi yang berkesinambungan melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya. Ada tiga alasan mengapa seleksi guru penting yakni, kinerja kepala sekolah selalu tergantung pada kinerja guru. Penyaringan guru yang efektif penting karena biaya merekrut dan mempekerjakan guru mahal serta adanya implikasi yang sah dari seleksi guru yang tidak efektif atau guru yang tidak cakap.
Keunggulan Bersaing Sekolah
SDM merupakan sumber pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang terakumulasi di dalam diri anggota organisasi (Hanafi, 2007). Kemampuan tersebut harus terus diasah dari waktu ke waktu dan sekolah terus mengembangkan keahliannya sebagai pilar agar selalu memiliki keunggulan bersaing. Wherter and Davis (1993) mengatakan bahwa SDM di dalam konteks manajemen adalah orang yang siap, mau, dan mampu berkontribusi kepada tujuan organisasi.  Sumber daya sekolah terdiri dari aset berwujud (tangible) maupun aset tidak berwujud (intangible) seperti kemampuan, proses organisasi, informasi, atribut, dan pengetahuan sekolah.  Para pemimpin di dalam organisasi menghadapi tantangan kompetitif berkaitan dengan globalisasi, peningkatan profitabilitas melalui pertumbuhan, modal intelektual, teknologi, dan perubahan secara kontinu (Ulrich, 1996).
Keunggulan bersaing diciptakan melalui efisiensi, kualitas produk, dan inovasi (Hill dan Jones, 1998). Di dalam menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan, sekolah  membutuhkan dukungan pimpinan sekolah dan karyawan berkualitas. Pimpinan sekolah harus dapat mengembangkan kompetensi, inovasi, kreatifitas, serta berperan sebagai agen perubahan dan melihat fungsi-fungsi SDM sebagai sumber keunggulan bersaing.  Sekolah harus mampu memegang kendali dirinya sendiri serta dapat menciptakan pasar di masa depan jika lebih dahulu tiba di masa depan, sehingga diperlukan pemimpin sekolah yang dapat meramu visi dan misinya, SDMnya, dan strategi bersaingnya untuk dapat menciptakan organisasi sekolah berkelas dunia (Hamel dan Prahalad, 1995).
Untuk mencapai organisasi sekolah berkelas dunia, Walker (1994) menyebutkan bahwa ada
empat karakteristik utama yang harus dipenuhi oleh fungsi SDM agar dapat mendukung keunggulan bersaing da bisa  diterapkan dalam dunia pendidikan. Karakteristik itu antara lain mengintegrasikan kegiatan SDM pendidikan dengan strategi organisasi sekolah; mengintegrasikan proses SDM pendidikan dengan proses manajemen SDM sekolah;  mengintegrasikan fungsi SDM pendidikan dengan organisasi sekolah serta  mengintegrasikan
cara pengukuran SDM pendidikan dengan cara pengukuran organisasi sekolah secara keseluruhan.
SDM dapat memberi kontribusi bagi keunggulan bersaing sepanjang hal tersebut memperkuat perilaku peran yang dapat memberikan hasil yang meminimumkan biaya, mendorong diferensiasi atau keduaduanya (Schuler dan Jackson, 1996). Menurut  Michael Porter bahwa untuk mencapai keunggulan bersaing, ada tiga macam alternatif strategi yang dapat digunakan. Strategi tersebt yakni strategi inovasi pendidikan,  strategi kualitas pendidikan serta strategi pengurangan biaya pendidikan.

(Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber relevan: penulis tinggal di kota Jambi).

GURU BERKINERJA

Guru Berkinerja dan Tuntutan Pengembangan Profesi
Description: C:\Users\seven\Pictures\NELSON 113.jpg
Oleh: Nelson Sihaloho

Abstrak:
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru di masa  depan semakin kompleks dan menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru juga dituntut untuk lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan profesinya. Dimasa depan guru bukan satu-satunya yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan.
Guru bukan satu-satunya orang yang paling pandai di tengah-tengah siswanya. Apabila guru tidak mampu memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, maka  guru akan terpuruk secara profesional. Jika ini terjadi, maka ia akan kehilangan kepercayaan, baik dari siswa, orang tua, maupun masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, maka guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Guru harus melakukan pembaharuan terhadap lmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara berkelanjutan. Guru wajib memahami penelitian guna mendukung efektivitas pembelajaran yang  menjadi tugas pokok fungsinya.
Dengan dukungan dari hasil penelitian guru maka guru tidak terjebak pada praktik pembelajaran yang menurut asumsinya sudah efektif, namun pada kenyataannya justru mematikan kreativitas siswanya sendiri. Dukungan hasil penelitian yang mutakhir lebih memungkinkan guru melakukan pembelajaran variatif. Guru berkinerja merupakan guru yang secara terus menerus mengembangkan tugas profesionalismenya muali dari merencanakan pembelajaran hingga membuat karya-karya inovatif.
Kata kunci: Guru, Kinerja dan Profesi

Pendahuluan
Tuntutan terhadap guru professional berkinerja tinggi sudah menjadi sebuah kebutuhan. Sebab guru memegang peranan penting dan strategis dalam penentuan tujuan pembelajaran. Selain itu guru wajib menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
Selengkap apapun sarana prasarana pendidikan, kurikulum, media, sumber atau hebatnya teknologi pendidikan semuanya tidak berarti apabila tidak dibarengi dengan kinerja tinggi. Kinerja guru akan terlihat profesional jika guru mampu mempersiapkan sendiri perangkat pengajaran yang menjadi tanggung jawabnya.Menurut Nuraini (2009: 90) menyatakan bahwa harapan  tersebut ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang ditemukan di lapangan.
Nuraini, et.al, menyebutkan masih ditemukan guru yang memiliki kinerja yang rendah dengan tidak menyusun sendiri silabus, rencana pembelajaran, tes yang terstandar dan perangkat pengajaran lainnya. Sanusi dkk. (1999: 34) menjelaskan bahwa kinerja guru dapat dirinci empat fungsi. Pertama, merencanakan PBM  seperti perumusan tujuan instruksional, menguraikan dan mendiskripsikan satuan pokok bahasan, merancang KBM, pemilihan media dan sumber belajar serta penyusunan instrumen evaluasi.
Kedua adalah melaksanakan dan memimpin PBM  mencakup kegiatan:  pembimbingan dan pengarahan PBM,  pengaturan dan pengubahan suasana belajar-mengajar, penetapan dan pengubahan urutan KBM. Ketiga, menilai kemajuan belajar yang meliputi pemberian skor hasil evaluasi, pentransformasian skor menjadi nilai serta penetapan peringkat. Keempat adalah guru menafsirkan dan memanfaatkan berbagai informasi basil penilaian dan penelitian untuk memecahkan masalah profesional kependidikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi utama peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)  yang bermanfaat untuk mengembangkan potensi individu dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Kemajuan hidup di masyarakat akan diraih melalui terciptanya lulusan yang kompeten seiring dengan tuntutan dunia kerja. Relevansinya kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas gurunya sebagai pelaksana tugas pendidikan.
Kulaitas guru  terlihat dari kinerjanya dalam melaksanakan tugas profesinya. Kinerja guru  merupakan hasil kerja yang dicapainya sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab yang didasarkan  pada pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi dalam pelaksanaan tugas. Kinerja guru akan terpenuhi melalui motivasi kerja guru itu sendiri.
Menuurt Megarry dan Dean, 1999:12-14 menyatakan, guru sebagai pendidik profesional wajib mengembangkan dan memanfaatkan kemampuan profesionalnya, sehingga dapat meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsionalnya, karena “pendidikan masa datang menuntut keterampilan profesi pendidikan yang berkualitas.
Sementara itu  Surya, 2000:4 menyatakan dalam tingkatan operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Lebih lanjut Depdikbud, 1994:63 menyatakan “guru merupakan SDM yang mampu mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta PBM yang bermutu dan menjadi faktor utama yang menentukan mutu pendidikan.
Guru harus terdidik dan terlatih secara akademik dan profesional serta mendapat pengakuan formal sebagaimana mestinya dan  profesi mengajar harus memiliki status profesi yang membutuhkan pengembangan (Tilaar, 2001:142). Menurut Lengkanawati, 2006: 10 menyatakan program sertifikasi terhadap guru akan menjadi kontrol yang mendorong para penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan profesionalismenya dan memberikan layanan maksimal kepada para stakeholders. Menurut Raths sebagaimana dikutip Sukmadinata, 2002:192, mengemukakan bahwa untuk menjadi guru yang profesional dan berkualitas harus memiliki 12 kemampuan.
Kemampuan itu adalah: (1).Explaining, informing, showing how, (2).Initiating, directing, administering,(3).Unifying the group, (4) Giving security, (5) Clarifying attitudes, beliefs, problems, (6) Dagnosing learning problems, (7) Making curriculum materials, (8) Evaluating, recording, reporting, (9) Enrichment community activities, (10) Organizing and arranging classroom, (11) participating in professional and civic life, and (12) Participating in school activities. Ke 12 kemampuan tersebut sebaiknya dapat diterapkan oleh para guru untuk menuju profesionalisme. Guru yang profesional harus selalu kreatif dan produktif dalam melakukan inovasi pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Danumihardja, 2001:39).
Peningkatan Kinerja Sebuah Keharusan
Peningkatan motivasi kerja guru dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan dalam organisasi pendidikan sangat penting dilakukan oleh manajer pendidikan. Sweeney and McFarlin, 2002:83, menyimpulkan bahwa motivasi merupakan “The Big Issue, … the most important issue in organizational behavior”. Dalam konteks manajemen personalia, Deesler,1993:19, menyebut motivasi sebagai “isu sentral dalam manajemen”.
Namun kenyataan menunjukkan bahwa kondisi kerja para guru, baik sifatnya fisik maupun non fisik masih belum memberikan derajat kepuasan kerja sehingga mempengaruhi kinerja guru. Kondisi kerja berupa kelas bocor, lantai pecah, kekurangan alat bantu, iklim hubungan guru kurang baik, dan sebagainya merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja dan kepuasaan kerja guru. Kinerja guru tidak hanya ditunjukkan berupa hasil kerja, akan tetapi termasuk perilaku kerja.
Menurut Murphy dan Cleveland, 1991:92, menyatakan bahwa: “Job Performance should be defined in term of behavior or in term of the results of behavior”.  Dipertegas oleh Stoner dan Wankel, 1993:159, bahwa kinerja merupakan hasil kerja secara nyata yang ditunjukkan oleh individu. Lembaga Administrasi Negara, 1993:3, menyebut performansi sebagai kinerja yaitu gambaran tentang tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran.
Harley sebagaimana dikutip Siagian, 1996:14, menyebut kinerja sebagai upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan untuk menghasilkan keluaran dalam periode tertentu. Pendidikan bermutu memiliki kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Forward linkage diartikan  bahwa pendidikan bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern, dan sejahtera.
Backward linkage berarti bahwa pendidikan yang bermutu tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Danim, 2002, mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Kinerja guru belum sepenuhnya didukung derajat penguasaan kompetensi yang memadai dan apabila masalah tersebut tidak diatasi akan berakibat pada rendahnya mutu pendidikan.
Banyak para ahli menyatakan, kepuasan kerja ditentukan oleh tiga faktor, yaitu gaji yang sesuai, adanya kebebasan berpikir dan mengekspresikan kreativitasnya, serta penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan. Kondisi kerja yang baik akan membuat guru diterima dan nyaman dalam bekerja sehingga guru bekerja sukarela dan tanpa paksaan. Sebagai pembanding, National Board for Professional Teaching Standards (2002) telah merumuskan standar kompetensi terhadap guru di Amerika yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan “What Teachers Should Know and Be Able To Do”.
Di dalamnya memuat lima proposisi utama  yaitu (1), Guru harus berkomitmen terhadap siswa dan pembelajarannya, (2), Guru harus tahu mata pelajaran yang diajarkan dan bagaimana mengajarnya kepada siswa, (3), Guru harus bertanggung jawab untuk mengelola dan memantau pembelajaran siswanya, (4). Guru harus berpikir secara sistematis tentang praktek pembelajaran dan belajar dari pengalaman, serta (5), Guru harus menjadi anggota komunitas pembelajar.
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan pendidikan memerlukan perhatian yang utama. Sebab melalui kepemimpinan yang baik diharapkan akan lahir tenaga-tenaga berkualitas dalam berbagai bidang sebagai pemikir, pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan SDM berkualitas. Kepala Sekolah sebagai sosok pimpinan yang mendapatkan tugas tambahan  kepemimpinannya akan sangat berpengaruh menentukan kemajuan sekolah.
Seorang Kepala Sekolah juga tidak lepas dari adanya penilaian dari para guru di organisasi sekolah, karena sebagai tokoh panutan tidak: hanya sebagai penganjur saja, melainkan harus dapat juga memberi contoh dan bimbingan dalam pelaksanaannya. Kepuasan kerja terhadap guru sebagai pendidik diperlukan untuk meningkatkan kinerjanya. Kepuasan kerja berkenaan dengan kesesuaian antara harapan seseorang dengan imbalan yang disediakan.
Karena itu peningkatan peningkatan kinerja guru sangat urgen dilakukan dan perlu mendapatkan penelusuran yang lebih mendalam. Guru berkinerja adalah guru profesional yang secara terus menerus mengembangkan profesionalismenya. Melaksanakan tugas profesional, melakukan penelitian, publikasi ilmiah ataupun membuat karya-karya inovatif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kinerja guru.
Evaluasi Kinerja Guru Profesional
Guru sebagai pemegang sertifikat apabila sudah lulus sertifikasi dalam piagam sertifikat  guru  sudah  jelas tertera ada  kata/kalimat  “ guru profesional”.  Para dosen-dosen Lembaga Pendidikan dan Tenaga Keppendidikan (LPTK) Perguruan Tinggi Negeri ditunjuk oleh Pemerintah (Kemdikbud) untuk melakukan sertifikasi guru. Namun pada prakteknya sering materi Diklat yang diberikan oleh assesor ataupun dosen tidak sinkron dengan profesionalisme guru ketika mereka kembali bertugas ke tempat masing-masing.
Fakta-fakta menunjukkan misalnya saja adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI) pada materi Diklat Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG). Diduga meskipun guru sudah 3 tahun mendapatkan tunjangan sertifikasi 1 (satu) karya tulispun belum ada dihasilkan oleh guru yang sudah mendapatkan sertifikat pendidik itu. Perlu dipertanyakan kembali terhadap dosen LPTK dan Panitia penyelenggara Sertifikasi Guru (Sergur) mengapa sampai 3 (tiga) tahun guru tersebut tidak mampu menunjukkan kinerjanya?.
Akhirnya guru yang telah menerima sertifikat pendidik pada kenyataanya memunculkan dampak positif dan negatif. Efek positif terlihat dari tanggungjawab guru untuk meningkatkan profesionalismenya sesuai bidang keahliannya terhadap  aktifitas pembelajaran baik untuk guru itu sendiri maupun untuk peserta didik. Dampak negatif terlihat pada penurunan aktifitas pembelajaran yang seharusnya dilaksanakan.
Rasa telah memiliki sertifikat beserta tunjangan profesional yang diberikan pemerintah dianggap merupakan puncak pencapaian kinerja sehingga tanpa peningkatan apapun mereka sudah mendapatkannya. Kondisi ini menyebabkan tidak ada perubahan bahkan kemungkinan terjadi penurunan kinerja bila dibandingkan antara sebelum dan setelah menerima sertifikat. Agar tidak terjadi dampak negatif,  maka perlu dilaksanakan penilaian berkelanjutan atau resertifikasi bagi guru profesional sebagai wujud nyata penjaminan mutu guru profesional. Menurut Setya Raharjo, dkk, 2008,  tentang kinerja guru profesional  menyatakan dampak negatifnya menemukan bahwa: (1) upaya atau aktivitas guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi dalam rangka mengembangkan dirinya melalui mengikuti diklat, mengikuti forum ilmiah belum menunjukkan upaya yang cukup menggembirakan. Meskipun ada sebagian guru dengan gigih mencari informasi diklat atau forum ilmiah yang mungkin diikuti. Sebagian besar guru masih belum aktif mengikuti diklat dan forum ilmiah baik yang dibiayai oleh sekolah atau pemerintah maupun dengan biaya sendiri, (2) upaya atau aktivitas guru pasca lulus sertifikasi untuk meningkatkan kemampuan akademik yang banyak dilakukan oleh sebagian besar guru adalah membimbing siswa mengikuti lomba atau olimpiade, sedangkan aktivitas yang lain masih perlu perhatian secara serius, antara lain penulisan karya tulis ilmiah dan kursus Bahasa Inggris, dan (3) upaya atau aktivitas guru untuk mengembangkan profesi yang banyak ditekuni oleh sebagian guru adalah membuat modul dan membuat media pembelajaran, sedangkan yang berkenaan dengan penulisan artikel, penelitian, membuat karya seni/teknologi, menulis soal Ujian Nasional (UN), serta mereview buku baru dilakukan oleh sebagian kecil guru.
Kurnas 2013 Guru Bersertifikat “Bingung”
Pembaharuan sistem pendidikan, termasuk di dalamnya pembaharuan kurikulum sering disikapi sebagai akibat dari perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan masuk di dalamnya yang menimbulkan lebih banyak ”penolakan” terhadap adanya perubahan terhadap Kurikulum Nasional (2013). Menurut Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” mengatakan bahwa akan timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan.
Sedangkan dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Mereka juga meyakini bahwa umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran.
Kurnas 2013 resmi diberlakukan pada jenjang SD kelas I dan IV, SMP  kelas VII dan SMA/K kelas X. Triliyunan rupiah dana dialokasikan oleh pemerintah untuk pelaksanaan Kurnas 2013 itu. Mulai sosialisasi, pengadaan buku, diklat kurikulm mengaji instruktur hingga biaya-biaya akomodasi hingga biaya-biaya hotel dialokasikan oleh pemerintah.
Meski demikian hingga kini guru masih kebingungan melaksanakan Kurnas 2013 itu. Menurut Bennie dan Newstead, 1999, menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan terutama dikaitkan dengan kurikulum. Faktor itu antara lain waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, ketidakberadaan bahan pembelajaran termasuk buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum yang baru, kekurangjelasan konsep kurikulum dan pengetahuan dikaitkan dengan kuriklum baru tersebut.
Charles dan Jones, 1973, menyatakan  setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional di lapangan sebagai tindak lanjut dan implikasi dari kebijakan perubahan tersebut. Setiap kendala atau hambataan harus segera diantisipasi sebelum menimbulkan masalah yang besar dan kompleks. Ketidakmampuan mengatasi kendala-kendala tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam implementasi kebijakan atau perubahan kurikulum KTSP ke Kurnas 2013.
Suatu studi menunjukkan bahwa umumnya hambatan yang ditemui dalam implementasi suatu kurikulum adalah kurangnya kompetensi guru-guru. Menurut Hargreaves, 1995, menungkapkan bahwa seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan guru-guru sebagai ujung tombak dalam impelementasi kurikulum tersebut. Bahkan Fennema dan Franke,1992, mendukung pernyataan Hargreaves, bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi prose pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum baru dapat diterapkan.
Studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold, 1999, mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum. Middleton, 1999, menyatakan berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru dimana perubahan kurkikulum berkaitan dengan perubahan paradigma pembelajaran.
Perubahan paradigma baik langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru di mana para guru perlu melakukan penyesuaian pemberlakuan Kurnas 2013. Penyesuaian yang dilakukan kemungkinan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran terhadap guru. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi kurikulum apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal.
Karena itu Bennie dan Newstead, 1999,  menyarankan untuk diadakannya penataran terhadap guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru. Agar berhasil, mereka menyarankan untuk cenderung menunda implementasi kurikulum sebelum diperoleh keyakinan secara faktual bahwa para guru benar-benar tahu apa yang semestinya dilakukan dengan kurikulum yang baru itu. Implementasi suatu kurikulum baru memerlukan waktu dalam proses transisinya dan perlu waktu untuk mengetahui apakah kebijakan baru mengenai kurikulum telah menyebabkan adanya perubahan, dapat dievaluasi oleh setidak-tidaknya tiga indikator.
Menurut Fullan, 2001, ada tiga indikator yaitu pertama, sejauh mana materi-materi baru atau yang direvisi digunakan oleh guru guru. Kedua, sejauh mana pendekatan-pendekatan pengajaran yang baru telah diterapkan dalam proses kegiatan-kegiatan belajar di kelas. Ketiga, sejauhmana guru guru berkeyakinan bahwa kebijakan berdampak kepada perbaikan mutu dan proses pembelajaran.

Ketiga indikator ini secara bersama-sama akan menentukan tercapai tidaknya tujuan-tujuan perubahan pendidikan. Terjadinya perubahan yang cepat di era globalisasi diikuti perubahan dalam dunia pendidikan, yaitu dengan diberlakukannya penggantian KTSP ke Kurikulum 2013. Dengan kondisi disibukkan dengan implementasi Kurikulum 2013 akankah guru berkinerja profesional atau menjalankan Kurikulum 2013 dengan penuh kebingungan?.(tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber relevan: penulis adalah guru SMPN 11 Kota Jambi ***).